Forum Kepala Bappeda Provinsi Se-KTI "Sinkronisasi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) terhadap Rancangan Akhir Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045"
Indonesia bercita-cita menjadi negara dengan pandapatan per kapita yang setara dengan negara maju, sehingga dapat keluar dari Middle Income Trap (MIT). Oleh karena itu, Indonesia perlu mengubah pendekatan dalam membangun masa depan, dari reformatif menjadi transformatif, melalui 3 area perubahan, yakni transformasi ekonomi, sosial, dan tata kelola.
Dalam menggapai cita-cita besar tersebut, Presiden RI Joko Widodo beberapa waktu lalu telah meluncurkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 guna mewujudkan visi “Indonesia Emas 2045” di Djakarta Theater, Jakarta tanggal 15 Juni 2023. Visi Indonesia Emas 2045 menargetkan Indonesia sebagai negara yang memiliki kepemimpinan dan pengaruh yang kuat di dunia internasional, dengan kemiskinan mendekati 0 persen dan ketimpangan berkurang.
Presiden menegaskan, ada tiga hal pokok yang menjadi acuan pembangunan Indonesia, yakni stabilitas bangsa yang terjaga, keberlanjutan dan kesinambungan, serta sumber daya manusia yang berkualitas. Untuk memastikan tercapainya tujuan tersebut, penyusunan RPJPN 2025-2045 yang berperan sebagai dokumen perencanaan pembangunan 20 tahunan tersebut di mana dalam prosesnya melibatkan seluruh pemangku kepentingan yang berkontribusi untuk menajamkan target dan sasaran pembangunan agar mampu membawa Indonesia menjadi negara maju. Seperti yang baru-baru ini dilakukan oleh Yayasan BaKTI melalui dukungan Program SKALA melaksanakan Pertemuan Forum Kepala Bappeda Provinsi Se-KTI. Pertemuan ini bertujuan untuk menjembatani Kementerian PPN/Bappenas dan Kementerian Dalam Negeri serta para pemangku kepentingan lain dengan pihak Bappeda/Bappelitbangda provinsi se-KTI untuk membahas arah kebijakan pembangunan jangka panjang wilayah dalam RPJPN 2025 – 2045. Forum Kepala Bappeda Se-KTI ini fokusnya adalah bagaimana meningkatkan koordinasi pembangunan antar-pemerintah daerah juga antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat, serta senantiasa berbagi praktik baik dalam bidang perencanaan pembangunan.
Melalui pertemuan ini diharapkan Kementerian PPN/Bapenas, Kementerian Dalam Negeri, Bappeda Provinsi Se-KTI serta para pemangku kepentingan lainnya bersama-sama membangun kolaborasi membangun sinergitas untuk arah kebijakan, membahas terkait dengan arah kebijakan Pembangunan Jangka Panjang Daerah dalam rencana pembangunan jangka panjang nasional 2025 sampai dengan 2045. Diperkuat dengan pemaparan dari ketiga narasumber yang hadir langsung di lokasi pertemuan yaitu Sondang Lumban Gaol, S.SOS., M.ENG – Analis Kebijakan Ahli Madya Selaku Koordinator (Perencanaan Dan Evaluasi Wilayah IV) Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah, Kemendagri. Mohammad Roudo, ST, MPP, Ph.D - Direktur Regional II Kementerian PPN/BAPPENAS (Pulau Sulawesi dan Provinsi Nusa Tenggara Barat/NTB) serta Ika Retna Wulandary, S.T., M.Sc. - Direktur Regional III Kementerian PPN/ BAPPENAS (Provinsi Nusa Tenggara Timur/NTT, Maluku, Maluku Utara, dan seluruh provinsi di Tanah Papua). Bapak Roudo dan Ibu Ika secara khusus memaparkan tentang isu, potesi dan arah kebijakan di masing-masing wilayah di KTI. Ibu Sondang dalam pemaparannya menekankan pemerintah daerah perlu segera menyiapkan berbagai keperluan dalam rangka melaksanakan agenda strategis penyusunan dokumen perencanaan daerah di tahun 2023-2024 dari mulai penyusunan RPJPD, RPJMD dan juga RKPD yang dilakukan secara simultan dan serentak di seluruh wilayah; RPJPD Tahun 2025-2045 dan RPJMD Teknokratik disusun pada tahun 2024 sebagai pedoman bakal calon kepala daerah dalam merumuskan visi misinya; terakhir penyusunan berbagai dokumen perencanaan pembangunan daerah diintegrasikan ke dalam Sistem Informasi Pembangunan Daerah (SIPD).
“Kawasan Timur Indonesia adalah kawasan yang sangat beragam dengan karakteristik yang berbeda-beda yang meliputi wilayah Papua, Maluku, Nusa Tenggara dan Sulawesi. Oleh karena itu hari ini adalah momentum yang sangat strategis ini menyampaikan masukan-masukan, tanggapan sehingga benar-benar rencana pembangunan dokumen RPJPN dapat mengakomodir kepentingan-kepentingan dan kebutuhan dari wilayah-wilayah yang ada di kawasan Timur Indonesia. Kita berharap nantinya masukkan ini tentu menjadi perhatian dan respons yang positif dari pemerintah nasional melalui Bappenas dan Kemendagri”, himbau Prof. Winarni, MS selaku Ketua Pokja Forum KTI dalam sambutan pembukaan.
Tahun 2023 hingga 2024 merupakan tahun yang penting di mana Indonesia memasuki pesta demokrasi, akan ada banyak perubahan-perubahan yang terjadi baik di pusat maupun di daerah, dan saat ini Bappenas, Kemendagri dan juga Kementerian lain tengah gencar-gencarnya menyusun dokumen-dokumen perencanaan pembangunan baik itu jangka menengah maupun jangka panjang, momen ini merupakan sebuah kesempatan penting bagi kita semua untuk membuat transformasi pembangunan yang baik di Indonesia. “Penting untuk memastikan kebijakan pusat betul-betul bisa nyambung dengan kebijakan dan arahan yang diterima oleh pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten, untuk itu perlu penguatan koordinasi pusat dan daerah dan antar daerah. Dukungan yang diberikan oleh mitra pembangunan salah satunya melalui Program SKALA diharapkan dapat mendorong tercapainya tujuan tersebut.” Ungkap Ibu Astrid Kartika- Unit Lead – Decentralized Governance and Human Development Branch Department of Foreign Affairs and Trade (DFAT) Australian Embassy Jakarta dalam sambutan pembukaan.
Program SKALA (Sinergi dan Kolaborasi untuk Akselerasi Layanan Dasar) merupakan kemitraan Australia-Indonesia untuk akselerasi layanan dasar yang berfokus pada penguatan elemen strategis pada sistem pemerintahan daerah di Indonesia, seperti Manajemen Keuangan Publik (PFM), Standar Pelayanan Minimal (SPM), perencanaan dan penganggaran, dan kepemimpinan lokal serta memperkuat perspektif dan pengarusutamaan GEDSI (Kesetaraan Gender, Disabilitas dan lnklusi Sosial).
Visi Indonesia Emas 2045 ini dicerminkan dalam 5 sasaran yang memberikan unsur imperatif pencapaian pembangunan jangka panjang. Sasaran yang pertama, yaitu “Pendapatan per Kapita Suatu Negara Maju” dengan indikator meningkatnya GNI per Kapita menjadi USD 23.000-30.300; meningkatnya kontribusi PDB Maritim sebesar 15,0%; serta meningkatnya Kontribusi PDB Manufaktur sebesar 28,0% di tahun 2045.
Selanjutnya, sasaran yang kedua yaitu “Kemiskinan Menuju 0% dan Ketimpangan Berkurang” diterjemahkan dengan indikator menurunnya persentase Tingkat Kemiskinan menjadi 0,5-0,8%; menurunnya Rasio Gini menjadi 0,290-0,320; serta meningkatnya kontribusi Kawasan Timur Indonesia (KTI) terhadap PDB menjadi 28,5%. Sasaran yang ketiga, “Kepemimpinan dan Pengaruh Dunia Internasional Meningkat” diukur dengan meningkatnya Global Power Indeks menjadi 15 besar. Lalu, sasaran yang keempat melihat pada “Daya Saing Sumber Daya Manusia Meningkat” dengan indikator meningkatnya dari Human Capital Indeks (HCI) menjadi 0,73. Sasaran yang terakhir berfokus pada keberlanjutan, yaitu “Intensitas Emisi GRK Menuju Net Zero Emission” dengan penurunan menjadi 93,5%.
Dalam rangka mewujudkan Visi Indonesia Emas 2045 tersebut, ditetapkan 8 Misi yang dijabarkan dalam 17 Arah Pembangunan. Langkah reformasi tidak akan cukup untuk pendekatan pembangunan Indonesia, melainkan perlu diperkuat dengan transformasi yang menyeluruh di berbagai bidang pembangunan. Tiga fokus utama transformasi ini meliputi “Transformasi Sosial”, “Transformasi Ekonomi”, dan “Transformasi Tata Kelola”. Ketiga transformasi ini dapat berjalan dengan baik dengan ditunjang oleh landasan stabilitas nasional yang kuat, yang meliputi “Supremasi Hukum, Stabilitas, dan Kepemimpinan Indonesia”. Selain itu, landasan transformasi “Ketahanan Sosial Budaya, dan Ekologi” juga diperlukan untuk menjamin kesejahteraan masyarakat dan pembangunan yang berkelanjutan ke depan. Transformasi dalam upaya mewujudkan Indonesia Emas 2045 tersebut akan diterjemahkan ke dalam pembangunan kewilayahan yang merata dan berkeadilan, yang didukung penuh oleh pembangunan sarana prasarana yang berkualitas dan ramah lingkungan, serta kaidah pelaksanaan untuk kesinambungan pembangunan.
Dalam konteks pembangunan kewilayahan, saat ini Indonesia masih dihadapkan pada isu ketimpangan antar wilayah khususnya di Kawasan Timur Indonesia. Oleh sebab itu, pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi perlu diprioritaskan di wilayah yang berstatus Lower-Middle Income (LMI). Oleh sebab itu, untuk mencapai Visi Indonesia Emas 2045, dengan kontribusi KTI yang ditargetkan tinggi pada tahun 2045 sebesar 28,5%, dari Wilayah Bali-Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua, dan dengan memanfaatkan potensi besar di wilayah timur yang berupa pariwisata dan ekonomi kreatif di Wilayah Bali-Nusa Tenggara, serta perikanan, perkebunan, kehutanan, dan pertambangan di Wilayah Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua.
Untuk memperbesar kontribusi KTI terhadap perekonomian nasional, pertumbuhan ekonomi Pulau Sulawesi harus tumbuh 7-8,1%, Bali-Nusa Tenggara mesti tumbuh 5-7%, Maluku 7-14%, dan Papua tumbuh 6-7%. Target pertumbuhan yang dihadapkan terjadi di masing-masing region di KTI menunjukkan bahwa diperlukan pendekatan transformatif untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi di daerah, bukan pendekatan business as usual.
Dalam sambutan sekaligus membuka pertemuan Forum Kepala Bappeda Provinsi Se-KTI, Ibu Sri Dewi Virgiyanti, ST, MEM - Plt. Deputi Bidang Pengembangan Regional - Kementerian PPN/BAPPENAS yang hadir secara online melalui Zoom, menyampaikan bahwa Visi Indonesia Emas 2045 ini tidak mungkin dapat tercapai tanpa dukungan dan kolaborasi dari seluruh pihak. Untuk itu, beberapa hal yang perlu diperhatikan bersama, yaitu: Pertama, dalam mendorong peningkatan peranan KTI ke depan, diperlukan berbagai upaya dan langkah strategis yang bersifat game changers di seluruh wilayah di KTI baik dalam upaya transformasi ekonomi, transformasi sosial, transformasi tata kelola, maupun dalam memperkuat supremasi hukum, stabilitas, dan kepemimpinan Indonesia; serta ketahanan sosial budaya dan ekologi. Hal ini tentunya dengan memanfaatkan peluang ekonomi dengan keberadaan Ibu Kota Nusantara (IKN) dengan 6 (enam) klaster industri dan 2 enabler.
Kedua, penyusunan RPJPD serta rencana tata ruang dan sektoral harus selaras dan sinkron dengan RPJPN 2025-2045, baik secara substansial maupun periodisasinya. Dalam upaya penyelarasan tersebut, penyusunan RPJPD ini juga diharapkan mengadopsi berbagai pembelajaran/praktik cerdas pada seluruh aspek pembangunan. Terakhir, seluruh upaya percepatan pembangunan di KTI tidak terlepas dari peran serta seluruh stakeholders pembangunan baik pemerintah maupun non pemerintah. Upaya kolaborasi dengan seluruh stakeholders pembangunan agar kebijakan-kebijakan pembangunan dapat bersifat transformatif dalam rangka percepatan pembangunan KTI dan berkontribusi bagi tercapainya Visi Indonesia Emas 2045.
Agar kontribusi KTI terhadap perekonomian nasional bisa diwujudkan, pemerintah pusat melakukan pemetaan arah pembangunan masing-masing region di KTI. Pemetaan tersebut didasarkan pada potensi atau modal dasar yang dimiliki semua daerah di KTI. Harapan Pemerintah pusat berharap prioritas pembangunan jangka panjang untuk Wilayah Sulawesi diarahkan sebagai “Penunjang Ekonomi Ibu Kota Nusantara (IKN) dan Industri berbasis SDA” yang berperan sebagai wilayah penyangga IKN dan pintu gerbang internasional Kawasan Timur Indonesia (KTI), melalui pengembangan industri hilirisasi mineral dan lumbung pangan nasional. Untuk mewujudkan hal tersebut, Regional Sulawesi perlu mendorong pembangunan sumberdaya manusia, mendorong pembangunan ekonomi terutama pada penguatan rantai nilai produksi dan rantai nilai komoditas-komoditas unggulan seperti kopi, kakao, kelapa, perikanan, memperkuat konektivitas melalui pembangunan sarana prasarana, melakukan perbaikan tata kelola pemerintahan, dan memperkuat ketahanan social, budaya, dan sosial.
Di Regional Bali-Nusa Tenggara, pemerintah pusat berharap pembangunan wilayah diarahkan untuk menjadikan Regional Bali dan Nusa Tenggara sebagai “Superhub Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nusantara yang Bertaraf Internasional” yang akan mendorong pengembangan industri pariwisata dan ekonomi kreatif ke Wilayah Timur Indonesia.
Pembangunan Wilayah Maluku untuk 20 tahun mendatang diarahkan sebagai “Hub Kemaritiman Wilayah Timur Indonesia” dengan koridor ekonomi yang difokuskan sebagai “Hub Ekonomi Biru Timur Indonesia” melalui pendayagunaan sumber daya kelautan dengan tetap mengoptimalkan sumber daya lainnya berdasarkan prinsip berkelanjutan. Arah Pembangunan tersebut bisa dicapai jika terjadi Pengembangan sentra-sentra industri yang dilengkapi dengan pusat riset, inovasi, dan teknologi, Pengembangan kawasan pariwisata dengan kelas premium dan mass tourism, Optimalisasi kawasan-kawasan pertumbuhan eksisting, penguatan produktivitas dan daya saing SDM local, pembangunan pelabuhan transit Hub domestik dan pusat logistic, penguatan tata kelola wilayah, dan peningkatan masyarakat yang berbudaya dan tangguh dalam mengelola lingkungan dan sumber daya Pembangunan.
Pembangunan Wilayah Papua selama 20 tahun mendatang diarahkan pada “Percepatan Pembangunan Wilayah Papua menuju Papua Sehat, Cerdas, dan Produktif” untuk mewujudkan Papua mandiri, adil dan sejahtera melalui pembangunan manusia unggul serta pembangunan ekonomi inklusif yang didukung oleh penguatan tata kelola dan pembiayaan pembangunan wilayah. Untuk Papua Produktif, koridor ekonomi Wilayah Papua difokuskan pada Industri Kimia Dasar dan Agro. Untuk mencapai kondisi tersebut, pembangunan wilayah mesti diarahkan pada pengembangan kualitas dan daya saing sumber daya manusia, penguatan pendidikan sepanjang hayat, peningkatan kompetensi tenaga kesehatan dan tenaga pendidik, peningkatan inovasi dan tata kelola layanan kesehatan dan pendidikan, penguatan sentra-sentra produksi, dan beberapa arah kebijakan lain yang berkaitan dengan pariwisata dan infrastruktur dasar.
Arah Pembangunan region Bali-Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, dan Papua potensial diwujudkan karena didukung oleh sumber daya alam yang memadai. Meski begitu, tantangan masing-masing daerah di masing-masing region bisa menjadi faktor penghambat dalam mengoptimalisasi sumber daya alam untuk memenuhi harapan nasional terhadap KTI. Beberapa tantangan relatif sama antar region seperti masih tingginya angka kemiskinan, rendahnya kualitas sumber daya manusia, keterbatasan konektivitas, masih tingginya ketimpangan pendapatan, keterbatasan infrastruktur, dan keterbatasan kapasitas fiskal. Ada beberapa daerah yang memiliki tantangan khusus seperti kondisi iklim (musim kering yang panjang) di Provinsi NTT, Sebagian besar wilayah masuk dalam Kawasan hutan sehingga mengalami keterbatasan dalam mengelola potensi daerah dialami oleh Provinsi Sulawesi Barat dan Provinsi Papua Barat Daya.
“Pembangunan harus dilihat dari Laut, Udara dan Darat. Membuka akses dan mengoptimalkan konektifitas jalur perdagangan antar daerah di Kawasan Timur Indonesia menjadi sebuah kebutuhan yang mendesak di mana selama ini masih bertumpu pada beberapa titik di kawasan barat Indonesia” ungkap Pj. Gubernur Sulawesi Selatan Bapak Dr. Bahtiar Baharuddin, M.Si dalam sambutan penutup yang turut memperkaya perspektif para peserta yang hadir kala itu.
Menurutnya saat ini bukan lagi berbicara mengenai ketimpangan timur dan barat tapi ketimpangan antara Indonesia lintang utara dengan Indonesia lintang selatan, di mana jalur-jalur perdagangan masih berpusat di beberapa wilayah di Sumatera, Jawa dan Kalimantan, merunut dari sejarah panjang Indonesia di mana pedagang-pedagang dari Portugis hanya melalui Selat Malaka, kemudian diambil alih oleh Belanda-VOC yang membangun pelabuhan di Batavia di Kutai. Salah satu upaya membangun konektivitas antar wilayah, Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden RI Jokowi Widodo telah membangun Tol Laut sebagai suatu bentuk konektivitas antarwilayah melalui optimalisasi perhubungan laut untuk memperlancar distribusi barang, jasa, hingga modal dan menjadi daya ungkit untuk berbagai sektor pembangunan.
Dalam pertemuan ini mengemuka beberapa permasalahan dan aspirasi pemerintah provinsi se-KTI yang meliputi:
Potensi Kewilayahan Sebagai Modal Dasar Pembangunan Wilayah
- Provinsi di KTI memiliki potensi sumber daya, meliputi pertanian, perikanan, pertambangan, energi, dan pariwisata. Namun potensi ini belum dikelola secara optimal. Jika berhasil dikelola secara optimal, maka harapan nasional agar KTI berkontribusi pada pencapaan visi Indonesia Emas 2045 dapat terwujud.
- Sejumlah sektor yang menjadi penopang perekonomian provinsi merupakan sektor-sektor yang non-padat karya, sehingga belum sepenuhnya optimal dalam penyerapan tenaga kerja dan peningkatan kesejahteraan rakyat.
- Beberapa provinsi mendorong isu pengembangan energi baru terbarukan seperti Provinsi NTT yang memiliki potensi tenaga surya dan ombak, Papua Barat Daya yang memiliki potensi air. Namun untuk memanfaatkan potensi tersebut menjadi sumber energi baru terbarukan, salah satu tantanganya adalah keterbatasan anggaran. Jika APBN dan APBD kesulitan untuk membiayai pembangunan infrastruktur energi baru terbarukan, maka dibutuhkan peran investasi swasta.
- Sektor pariwisata merupakan satu sektor potensi untuk dikembangkan di KTI, misalnya di Papua Barat Daya dan Sulawesi Selatan.
- Salah satu potensi yang dimiliki oleh provinsi di KTI adalah pengembangan ekonomi biru. Hal ini didukung oleh panjang garis pantai dan luas laut yang dimiliki, seperti di NTT dan Sulawesi Tengah.
Kualitas dan Produktivitas SDM, Akses Layanan Pendidikan dan Kesehatan. - Secara umum, kualitas SDM masih relatif terbatas dibandingkan wilayah lain di Kawasan Barat Indonesia. Hal ini dipengaruhi rendahnya akses terhadap layanan pendidikan dan kesehatan. Hal ini terlihat dari masih rendahnya IPM di semua provinsi di KTI. Beberapa daerah misalnya Sulawesi Barat menghadapi persoalan tingginya angka anak tidak sekolah dan terbatasnya akses terhadap pendidikan untuk daerah-daerah terpencil.
- Pada aspek kesehatan, salah satu isu penting yang menjadi perhatian semua provinsi adalah stunting yang masih tinggi. Hal itu disebabkan oleh akses pelayanan kesehatan yang masih terbatas, terutama daerah-daerah yang sulit diakses. Keterbatasan akses tersebut bisa dilihat ketersediaan tenaga kesehatan yang tidak sejalan jumlah penduduk yang terus bertambah.
Tata Kelola, Penguatan Kapasitas Kelembagaan Pemerintah Daerah
- Kualitas manusia Aparat Sipil Negara (ASN) yang masih kurang kompeten dan melek tekhnologi informasi turut menjadi isu tata kelola pemerintahan di KTI. Sehingga diperlukan pengembangan kapasitas manusia ASN melalui pelatihan dan bimbingan teknis.
- Penguatan tata kelola pemerintahan juga perlu didorong melalui penegakan hukum dan pemberantasan korupsi serta manajemen ASN.
Dukungan Sarana Prasarana, Konektivitas dan Kebencanaan
- Konektivitas antar wilayah provinsi dan antar wilayah dalam provinsi masih rendah, sehingga diperlukan dukungan untuk pengembangan infrastuktur konektivitas, seperti jalan, pelabuhan, dan bandara. Infarstuktur teknologi juga menjadi tantangan di hampir semua provinsi KTI seperti di Provinsi Sulawesi Tengah. Infrastruktur teknologi penting untuk masa depan karena dalam jangka panjang pemanfaatan kebutuhan untuk ekses terknologi diperkirakan akan meningkat seiring dengan perkembangan teknologi, sehingga perlu dipastikan bahwa semua provinsi di KTI memiliki akses yang memadai dalam infrastruktur teknologi.
- Beberapa provinsi di KTI termasuk dalam kategori rawan bencana, seperti Sulawesi Tengah, Papua Selatan. Kondisi geografis yang rawan bencana perlu menjadi perhatian pemerintah pusat.
- Beberapa provinsi memberikan tanggapan terkait dengan infrastruktur spesifik, seperti misalnya Provinsi Sulawesi Selatan yang menanggapi pembangunan kereta api. Dalam dokumen RPJPN, pembangunan kereta api di Sulawesi Selatan hanya menyambungkan Kota Makassar hingga Kota Parepare, sementara di Sulawesi Selatan saat ini tengah membangun kawasan industri Takalar, tapi tidak ada jalur kereta api yang dibangun yang menghubungkan dengan Kabupaten Takalar. Oleh karena itu, penting untuk memastikan ketersediaan infrastruktur yang menghubungkan antara kawasan industri dengan pasar.
Kolaborasi Pusat-Daerah Serta Stakeholders Pembangunan (Pentahelix)
- Sebagian besar wilayah di KTI memiliki kemampuan fiskal yang masih rendah, sehingga diperlukan kolaborasi dengan berbagai stakeholders termasuk dunia internasional melalui skema-skema kerja sama pembiayaan untuk mendorong penyediaan layanan dasar.
- Peran dunia usaha, perguruan tinggi dan komunitas (Pentahelix) terutama untuk pengembangan inovasi pengetahuan dalam menghasilkan produk dan jasa yang bernilai tinggi dan bermanfaat bagi masyarakat.
Model kolaborasi tersebut dapat mengisi ruang-ruang penguatan kolaborasi antara pemerintah dengan mitra-mitra pembangunan, di antaranya melalui integrasi program pembangunan dalam mengisi gap penyelesaian isu strategis dan kebijakan pengembangan wilayah, menjembatani gap antara harapan nasional terhadap KTI dengan masalah yang dihadapi daerah-daerah di KTI, pelibatan local champions, transfer of knowledge dari pihak-pihak yang berkolaborasi, serta replikasi good practices, yang seluruhnya dapat memberikan daya ungkit yang tinggi terhadap pelaksanaan program pembangunan sehingga Visi Indonesia Emas 2045 yaitu menjadi Negara Nusantara Berdaulat, Maju, dan Berkelanjutan dapat terwujud