Implementasi Tol Laut dan Penganggaran Hijau untuk Mendukung Percepatan Pembangunan
Saat ini transportasi angkutan laut domestik masih terpusat melayani wilayah yang memiliki aktivitas ekonomi tinggi yaitu di wilayah Barat Indonesia meskipun karakteristik kepulauan di wilayah Timur Indonesia telah menjadikan transportasi laut sebagai tulang punggung aktivitas pergerakannya saat ini. Dalam mewujudkan pemerataan, diperlukan pembangunan dengan konsep ship promote the trade (konsep yang memiliki daya ungkit yang tinggi terhadap percepatan pertumbuhan ekonomi nasional), dimana pembangunan konektivitas di Kawasan Timur Indonesia diharapkan mampu meningkatkan aktivitas ekonomi dan perdagangannya. Pengembangan pelayanan transportasi laut sebagai tulang punggung distribusi logistik yang menghubungkan wilayah Barat dan Timur Indonesia diharapkan mampu menurunkan biaya logistik sehingga dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi disertai terwujudnya pemerataan.
Dari aspek logistik untuk angkutan laut, terdapat permasalahan tidak efisiennya pengangkutan barang yang diangkut terutama untuk angkutan laut ke Kawasan Timur Indonesia. Pada saat ini angkutan laut dari Pulau Jawa ke Papua terisi penuh, namun kembali dalam keadaan kosong. Salah satu penyebabnya adalah karena wilayah di Kawasan Timur Indonesia masih memiliki konektivitas yang rendah. Hal ini menyebabkan biaya logistik yang dibebankan kepada komoditi menjadi tinggi, sehingga diperlukan keberpihakan dalam penyelenggaraan layanan angkutan laut dari Barat ke Timur.
Terkait percepatan pembangunan khususnya di Kawasan Timur Indonesia, Pemerintah meluncurkan Program Tol Laut. Program Tol Laut merupakan suatu konsep memperkuat jalur pelayaran yang dititikberatkan pada Kawasan Timur Indonesia. Konsep tersebut selain untuk mengkoneksikan jalur pelayaran dari Barat ke Timur Indonesia juga akan mempermudah akses niaga dari negara-negara Pasifik bagian selatan ke negara Asia bagian Timur. Ide dari konsep Tol Laut tersebut akan membuka akses regional dengan cara membuat dua pelabuhan besar berskala hub internasional (Pelabuhan Kuala Tanjung dan Pelabuhan Bitung) yang dapat melayani kapal-kapal niaga diatas 3.000 TEUs atau sekelas kapal panamax 6.000 TEUs.
Terbukanya akses regional melalui implementasi konsep Tol Laut dapat memberikan peluang industri kargo/logistik nasional untuk berperan dalam distribusi internasional, dimana saat ini 40% melalui wilayah Indonesia. Untuk menjadi pemain di negeri sendiri serta mendukung asas cabotage serta beyond cabotage. Distribusi logistik di wilayah depan (pelabuhan hub internasional) akan dihubungkan ke wilayah dalam melalui pelabuhan-pelabuhan hub nasional (pelabuhan pengumpul) yang kemudian diteruskan ke pelabuhan feeder (pelabuhan pengumpan) dan diteruskan ke sub-feeder dan atau pelabuhan rakyat. Sesuai dengan konsep wilayah depan dan wilayah dalam tersebut maka armada kapal yang melayani pergerakan kargo/logistik internasional akan berbeda dengan armada kapal yang melayani pergerakan kargo domestik.
Dalam mendukung hal tersebut, akan dikembangkan juga rute armada kapal/ pelayaran yang menghubungkan kedua pelabuhan hub internasional serta melalui pelabuhan hub nasional dari wilayah Timur hingga wilayah Barat Indonesia. Kemudian kargo/logistik dari pelabuhan hub nasional akan didistribusikan ke pelabuhan feeder menggunakan kapal yang berbeda pula. Dengan konsep Tol Laut, rute armada kapal menjadi rutin dan terjadwal dari Barat sampai Timur Indonesia.
Untuk merealisasikan rute/jaringan pelayaran tersebut, diperlukan pengoptimalisasi penyelenggaraan Perintis/PSO angkutan laut penumpang maupun barang, mengingat jumlah muatan barang dari wilayah Indonesia Timur yang masih rendah. Dukungan insentif fiskal maupun nonfiskal sangat diperlukan, sehingga dapat menekan biaya transportasi dan logistik. Selain itu, upaya regional balancing harus dilakukan melalui keseimbangan pembangunan konektivitas global dan nasional, perkotaan dan perdesaan, pusat-pusat pertumbuhan dan daerah tertinggal, serta pembangunan transportasi intra-pulau dan antar pulau. Pertemuan Forum Kepala Bappeda Provinsi Se-KTI XI diharapkan dapat memberi masukan komprehensif dalam implementasinya.
Selain itu, pertemuan ini akan juga membahas mengenai Green Budgeting atau Penganggaran Hijau. Secara umum Penganggaran Hijau adalah sebuah gagasan praktis tentang penerapan pembangunan berkelanjutan dalam sistem anggaran, yang terintegrasi dalam sebuah dokumen kebijakan yang didasarkan pada prinsip sustainability secara finansial, sosial, dan lingkungan.
Sebagai sebuah paradigma, Penganggaran Hijau memprioritaskan unsur kelestarian lingkungan dalam penyusunan, implementasi, pengawasan, hingga evaluasi dalam belanja pemerintah dan juga pendapatan yang mendukungnya. Sehubungan dengan itu, segala hal yang terdapat dalam belanja dan pendapatan pemerintah diupayakan untuk memenuhi prinsip kelestarian lingkungan.
Meskipun sudah dimasukkan dalam RPJMN, gagasan Pengetahuan Hijau masih terbilang baru. Oleh karena itu diperlukan komitmen bersama dan pendampingan agar penerapannya sesuai yang diharapkan dan dapat secara berkelanjutan membawa manfaat lingkungan bagi daerah.
Unduh Catatan Pertemuan Forum Kepala Bappeda Provinsi se-KTI XI