Berita BaKTI
  • admin
  • 24 May 2019

Press Release: Saat Penyandang Disabilitas Perempuan Berhadapan dengan Hukum

Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak (Pasal 1 Ayat 1 Undang-Undang No 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas).

Dalam kehidupan sehari-hari, Penyandang Disabilitas mengalami diskriminasi berlapis yang lebih berat daripada diskriminasi terhadap perempuan dan anak. Perempuan mengalami diskriminasi berdasarkan jenis kelamin dan peran. Anak mengalami diskriminasi karena dianggap sebagai setengah manusia. Sedangkan Penyandang Disabilitas mengalami diskriminasi karena penolakan dan stigma.

Penyandang Disabilitas juga mengalami diskriminasi berdasarkan jenis kelamin. Diskriminasi semakin panjang dan berlapis, bila Penyandang Disabilitas adalah seorang anak perempuan. Peyandang Disabilitas berjenis kelamin perempuan dan masih berumur anak akan mengalami diskriminasi karena menyandang disabilitas, sebagai perempuan, dan sebagai anak.

Diskriminasi yang panjang dan berlapis terhadap Penyandang Disabilitas mulai dari dalam keluarga, masyarakat, hingga negara. Dalam kehidupan sehari-hari, penggunaan bahasa dan istilah untuk menyebut Penyandang Disabilitas, masih bersifat stigma dan pelabelan negatif. Penyandang Disabilitas dianggap sebagai manusia yang membawa beban dan tidak beruntung.

Diskriminasi dan stigma melahirkan kekerasan terhadap Penyandang Disabilitas. Ketika mereka menjadi korban kekerasan, maka tidak mudah untuk membela hak-hak mereka. Di samping perspektif pihak-pihak yang berhubungan dengan Penyandang Disabilitas, yang menempatkan Penyandang Disabilitas sebagai orang-orang yang membebani, tidak banyak aktivis dan kelompok yang peduli terhadap Penyandang Disabilitas.

Untuk Penyandang Disabilitas tertentu, misalnya Penyandang Disabilitas yang mengalami keterbatasan intelektual, ketika menjadi korban kekerasan, apalagi kekerasan seksual, maka tidak mudah mengungkap dan menyelesaikan kasusnya.

Sebagai orang-orang yang mempunyai posisi timpang di dalam masyarakat karena diskriminasi dan stigma, Penyandang Disabilitas merupakan kelompok yang rentan menjadi korban kekerasan. Dan ketika menjadi korban pun, tidak mudah untuk membela hak-hak mereka. Bahkan tidak jarang kasus yang mereka alami menjadi lelucon dan bahan tertawaan oleh pihak-pihak yang tidak mempunyai pengetahuan, perspektif, simpati, dan empati.

Tahun 2011, seorang anak laki-laki berumur 15 tahun sempat ditahan polisi karena dilibatkan ayahnya dalam kasus pencurian. Di kantor polisi anak tersebut tidak menunjukkan ketakutan, sebaliknya menyapa dan bersenda gurau dengan setiap polisi yang berpapasan dengannya. Setelah dirujuk ke psikolog, barulah diketahui bahwa anak ini adalah penyandang disabilitas, dengan tingkat kecerdasan yang sangat rendah, sehingga kasusnya tidak dilanjutkan. Informasi dari ibunya, anak ini sebelumnya juga telah diproses peradilan. Hakim memutuskan untuk dikembalikan kepada orangtuanya, tapi dia sudah ditahan oleh polisi dan kejaksaan (LPA Sulsel, 2013).

Sementara itu, jika penyandang disabilitas - perempuan maupun anak - yang menjadi korban pun, apalagi korban kekerasan seksual, maka pelakunya sulit sekali diproses hukum. Beberapa kasus tidak diproses atau macet, jika diproses memakan waktu yang panjang, bahkan pelakunya bebas karena kekurangan bukti.

Ini memprihatinkan, karena perempuan penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum, terutama korban kekerasan seksual, yang terlaporkan selalu ada tiap tahunnya. LPA Sulsel mencatat 2-3 kasus terekspos tiap tahun. Sementara P2TP2A Kota Makassar mencatat, di Kota Makassar, tiap tahun 1-2 kasus kekerasan seksual terhadap penyandang disabilitas.

Angka-angka ini tergolong rendah, namun itu adalah kasus yang terlaporkan atau terekspos. Orangtua dan keluarga korban umumnya menutupi kasus-kasus seperti ini, selain karena dianggap tabu (tidak mau diekspos), mereka juga tidak yakin dengan proses peradilan, yang melelahkan dan hasilnya tidak sesuai harapan.

Beberapa pihak telah berinisiatif untuk menjadi pembela dan mendampingi kasus-kasus yang menimpa Penyandang Disabilitas. Tentu keberpihakan mereka dan upaya mereka merupakan pengalaman dan pembelajaran yang perlu dibagikan, baik untuk mengubah cara pandang di masyarakat terhadap Penyandang Disabilitas, maupun untuk membela hak-hak Penyandang Disabilitas dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Kasus-kasus penyandang disabilitas berhadapan dengan hukum merupakan kasus yang kompleks, apalagi kekerasan seksual. Tidak hanya kemampuan dan ketrampilan, tetapi juga kesabaran dan empati dalam menangani korban. Hanya orang-orang terpilih yang mampu memutuskan dirinya untuk membantu dan membela penyandang disabilitas berhadapan dengan hukum. Karena itu, mereka merupakan orang-orang yang memberi inspirasi.

Yayasan BaKTI Makassar sebagai lembaga yang berfokus pada pertukaran pengetahuan akan mengadakan Diskusi Inspirasi BaKTI mengenai Penyandang Disabilitas dengan tema: Penyandang Disabilitas Perempuan Berhadapan dengan Hukum (Kekerasan Seksual). Diskusi ini sebagai media berbagi informasi mengenai Penyandang Disabilitas Perempuan yang berhadapan dengan hukum dan proses penanganannya.

Diskusi dilaksanakan pada Jumat 24 April 2019 jam 15.00-selesai di Kantor Yayasan BaKTI, yang dirangkaikan dengan Buka Puasa. Narasumber Diskusi adalah Kompol Andriyani Lilikay (Kanit PPA Polda Sulsel), Nurdayati (HWDI Sulsel), dan Fauzia Erwin (advokat). Diskusi dipandu oleh Luna Vidya. Peserta diskusi antara lain instansi pemerintah, akademisi, organisasi peduli disabilitas, organisasi perempuan, organisasi masyarakat sipil, dan media.