Side Event di FFKTI IX: Kolaborasi dan Inovasi Daerah untuk Penanganan Kekerasan Berbasis Gender
Program USAID Tata Kelola Pemerintahan Yang Efektif, Efisien Dan Kuat (USAID ERAT)
Pembicara:
- Achi Soleman, S.STP., M.Si. – Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Makassar
- Drg. Iien Adriany, M.Kes. – Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Provinsi NTT
Moderator:
Rosniaty Azis – YASMIB (Swadaya Mitra Bangsa) Sulawesi
Kasus kekerasan berbasis gender (KGB) sudah menjadi isu krusial. Hampir setiap wilayah di Indonesia tidak luput dari persoalan ini termasuk Makassar dan Kupang. Bagaimana Pemerintah Daerah dua wilayah ini meresponsnya? Praktik baik apa saja yang sudah dilakukan? Mari belajar dari Makassar dan Kupang.
Kolaborasi berbagai pihak menjadi kunci sukses Kota Makassar mewujudkan tata kelola yang baik untuk penanganan KGB. Kerja bersama antar Organisasi Pemerintah Daerah (OPD), lembaga struktural, dunia usaha, lembaga masyarakat, perguruan tinggi, forum anak, dan kelompok masyarakat lainnya berhasil melahirkan beberapa capaian salah satunya penurunan kasus perkawinan dari 63 kasus pada tahun 2021 menjadi 37 kasus di tahun 2022. Dengan turunnya angka perkawinan anak, tentu dapat menyumbang penurunan kasus KGB.
Komitmen pemerintah Kota Makassar untuk pemenuhan hak anak tertuang jelas dalam visi dan misi walikota Makassar. Visi tersebut lantas diturunkan dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) melalui program prioritas JAGAI ANAK’TA (Jaga Anak Kita) atau mari menjaga anak bersama. Kebijakan perlindungan anak ini juga diperkuat dengan peraturan daerah tentang perlindungan anak. Lantas, bagaimana operasionalisasi kebijakan tersebut untuk pencegahan perkawinan anak?
Achi Soleman, Kepala DP3A Kota Makassar, menceritakan bahwa komitmen pencegahan perkawinan anak melalui pendekatan tata kelola pemerintahan dimulai dari terbitnya Surat Keputusan (SK) Gugus Tugas kota layak anak yang di dalamnya terdiri dari berbagai OPD dan organisasi mitra (LSM dan media massa). Masing-masing pihak tersebut memiliki peran dan fungsi sesuai klaster dalam kota layak anak, antara lain klaster hak sipil dan kebebasan, pendidikan, lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif, dan perlindungan khusus. Peran dan fungsi tersebut diperkuat dengan Rencana Aksi Daerah (RAD) yang tertuang dalam setiap klaster.
Perlindungan perempuan dan anak adalah isu multi-sektor, maka penanganannya pun membutuhkan kerja bersama. Disinilah RAD dibutuhkan sebagai pegangan bersama antar OPD agar upaya yang dilakukan bisa saling terintegrasi sesuai dengan tugas dan fungsi.
Berbagai program lahir dari RAD ini. Misalnya di tingkat layanan, Kota Makassar memiliki inovasi Labaso’kawin, yakni kolaborasi pencegahan pernikahan anak yang melibatkan berbagai pihak. Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Pemberdayaan Perempuan dan Anak (PPA) misalnya memiliki Pusat Pembelajaran Keluarga (PUSPAGA). PUSPAGA memberikan konseling bagi warga yang mengambil rekomendasi menikah. Warga harus melewati beberapa tahapan konseling untuk mendapatkan edukasi tentang pernikahan, termasuk edukasi kesehatan dari Dinas Kesehatan.
Ada juga inovasi Konter (Kontainer Terpadu) yang awalnya adalah layanan untuk pemulihan pandemi Covid 19, kini dipakai untuk semua layanan OPD terkait, termasuk layanan dari DP3A untuk penanganan kasus kekerasan sebagai Shelter Warga. Layanan ini sangat berperan sebagai ruang aman warga untuk pengaduan dan penanganan kasus.
Achi mengatakan bahwa kolaborasi yang baik juga didukung adanya evaluasi dan monitoring rutin setiap tiga bulan sekali. Disinilah semua saran dan masukkan ditampung untuk perbaikan-perbaikan yang menghasilkan tata kelola pemerintahan yang baik.
Semangat kolaborasi juga diterapkan di Nusa Tenggara Timur, namun dengan inovasi yang berbeda karena karakter permasalahannya berbeda dengan di Makassar atau wilayah lain. Drg. Lien Adriany, Kepala DP3A Provinsi NTT, menyebutnya bahwa di wilayahnya ada permasalahan ganda, di satu sisi harus menangani kasus kekerasaan dan di sisi lainnya juga harus mengejar banyak ketertinggalan seperti kemiskinan ekstrim.
NTT memiliki program Akar Cendana, yakni sesuatu yang dimulai dari segala masalah yang ada, mulai dari kekerasan hingga kemiskinan. “Kondisi di NTT cukup memprihatinkan, kita berbicara stunting, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), perlindungan perempuan dan anak yang masih rendah, indeks kualitas pun masih rendah,” ujar Lien.
Membenahi kondisi ini, Lien menjelaskan bahwa NTT bergerak dari keluarga terlebih dahulu. Pertama, diawali dengan pemenuhan hak sipil anak sebagai warga negara terlebih dahulu yaitu pembuatan identitas. “Jadi yang lahir itu harus memiliki identitas, di rumah sakit kalau ada pasien yang masuk langsung diurus online, dalam waktu tiga jam akte sudah keluar kemudian kartu identitas ditambah kartu keluarga juga sudah ada nama anaknya,” Lien menjelaskan.
Keterbatasan dana tidak menjadi hambatan berpikir kreatif. Misalnya saat mengatasi persoalan perkawinan, DP3A mengumpulkan orang-orang yang mau menikah untuk dihubungkan kepada Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN). Selain itu, pihaknya juga bekerjasama dengan bagian keagamaan untuk memberikan edukasi terkait harta gono gini. Begitu pula dengan aspek kesehatan, calon pasangan akan mendapat informasi tentang kesehatan antara lain tentang risiko kehamilan dan menghitung periode haid untuk menghindarkan anak dari stunting.
Sementara untuk pasangan yang sudah menikah, pemenuhan hak sipil anak dilakukan dengan pendataan. Biasanya, pihaknya meminta bantuan mahasiswa yang sedang kuliah kerja nyata (KKN) untuk membantu pendataan anak-anak yang belum memiliki akte. Lien menambahkan adanya dukungan dari Lembaga Swadaya Masyarakat juga turut membantu agar programnya berjalan.
Highlights side event ini dapat Anda simak pada tautan