Yayasan BaKTI dan Satgas PPKS UNHAS Berkolaborasi Meningkatkan Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi
Pada tanggal 21-22 September 2023, bertempat di Ruang Rapat A Rektorat Universitas Hasanuddin menjadi lokasi penyelenggaraan Pelatihan Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual. Agenda pelatihan ini merupakan langkah proaktif dalam melawan kekerasan seksual dan menjadikan Universitas Hasanuddin sebagai teladan dalam praktik inklusi dan keselamatan di lingkungan pendidikan tinggi.
Kegiatan ini juga sejalan dengan program INKLUSI dari Yayasan BaKTI, yang bertujuan menjadikan universitas sebagai pelopor dalam menerapkan praktik inklusif, terkhusus dalam penanganan kasus kekerasan seksual di kampus. Dalam hal ini, Yayasan BaKTI memberikan dorongan kepada Universitas Hasanuddin untuk memperkuat Satgas PPKS mereka.
Pelatihan ini menjadi langkah konkret dalam upaya pemberantasan kekerasan seksual di kalangan mahasiswa dan lingkungan kampus. Menyadari urgensi permasalahan ini, Universitas Hasanuddin dan Yayasan BaKTI berkolaborasi dalam upaya mewujudkan lingkungan kampus yang lebih aman dan inklusif. Pelatihan ini berfokus membahas mengenai mekanisme dan pendalaman materi mengenai pentingnya pencegahan serta penanganan dalam kasus kekerasan seksual di ranah kampus.
Pemateri pelatihan ini datang dari Universitas Gadjah Mada (UGM), yaitu Prof. Dra. Raden Ajeng Yayi Suryo Prabandari, M.Si., Ph.D. Beliau menjelaskan bahwa UGM memiliki pendekatan aktif dalam melawan kekerasan seksual melalui program Health Promoting University (HPU) dan berbagai kegiatan pencegahan. Materi ini memberikan motivasi kepada Satgas PPKS Universitas Hasanuddin untuk menjadi studi tiru dan mempelajari praktik yang serupa.
Pelatihan ini turut dibawakan oleh Sri Wiyanti Eddyono, S.H., LL.M, Ph.D atau yang akrab disapa Bu Iyik. Beliau menjelaskan mengenai regulasi yang mencakup pencegahan, penanganan korban, hak-hak korban, dan sanksi terhadap pelaku. Selain peraturan kampus, ada juga hukum nasional yang mengatur tindak pidana kekerasan seksual.
Menurutnya, penanganan korban kekerasan seksual melibatkan tiga tahap, yaitu tahap awal, lanjutan, dan pemulihan. Kepada pelaku, sanksi administratif diterapkan sesuai dengan tingkat pelanggaran, dengan pertimbangan khusus untuk kasus yang melibatkan korban disabilitas atau pelaku yang memiliki peran penting dalam kampus. Adapun jenis sanksi juga dikategorikan dalam sanksi etik, disiplin dan hukum.
Tidak kalah bernasnya, materi selanjutnya dibawakan oleh psikolog UGM, yaitu Istiqomah Yungsiana, S.Psi., M.Psi. atau yang akrab disapa Mbak Isti. Membahas dari sisi psikologis, beliau menjelaskan mengenai asesmen dalam kasus kekerasan seksual. Dalam asesmen, poin penting yang harus ditanyakan kepada pelapor atau korban meliputi kejadian, informasi tambahan (penanganan kasus, bukti yang ada, keamanan, dan dukungan), serta analisis penerimaan laporan dan proses penanganannya. Menurutnya, ada empat keterampilan dasar dalam asesmen, yaitu komunikasi verbal, komunikasi non-verbal, perhatian, mendengarkan, dan memberikan respons.
Qaiatul Muallima, mahasiswi Fakultas Hukum yang juga salah satu anggota Satgas PPKS UNHAS unit mahasiswa mengaku sangat senang dengan diadakannya pelatihan ini. Ia mengatakan, "Pelatihan ini sangat bermanfaat bagi saya dan rekan-rekan Satgas lainnya dalam meningkatkan kapasitas kami dalam menangani kasus kekerasan seksual."
"Materi-materi yang disampaikan sangat membantu, terutama dalam mendorong Satgas untuk menjadi lebih proaktif dan tidak hanya menunggu bola (laporan kasus)” tambahnya.
Dengan bimbingan dari narasumber yang memiliki pengalaman luas, Satgas PPKS UNHAS kini berkomitmen untuk menerapkan praktik inklusif guna meningkatkan keselamatan dan keamanan di lingkungan kampus. Pelatihan ini juga menyoroti signifikansi kerjasama yang erat antara Universitas Hasanuddin dan Yayasan BaKTI dalam memperkuat kinerjanya.
Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H., M.Hum sebagai Ketua Satgas PPKS UNHAS, mengungkapkan rencananya ke depan setelah mengikuti seluruh rangkaian kegiatan pelatihan ini. "Tentunya nanti hasil dari pelatihan ini akan dijadikan pedoman untuk memperkuat dan melengkapi SOP dan kinerja Satgas (PPKS UNHAS)." tuturnya.
Selain itu, beliau juga menyampaikan rasa terima kasih yang mendalam kepada Yayasan BaKTI atas dukungan dan kolaborasi yang telah terjalin dalam pelaksanaan pelatihan ini. "Terima kasih kepada Yayasan BaKTI yang telah senantiasa memberikan dukungan dan berkolaborasi dengan kami sejak awal," tandasnya penuh penghargaan.
Pentingnya Konseling Korban Kekerasan Seksual
Kegiatan pelatihan ini diselenggarakan dalam mendukung capaian program INKLUSI dari Yayasan BaKTI, yang berusaha menjadikan universitas sebagai lembaga yang memimpin dalam menerapkan prinsip-prinsip inklusif, terutama dalam penanganan kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus. Dalam konteks ini, Yayasan BaKTI mendorong Universitas Hasanuddin untuk memperkuat tim Satgas PPKS mereka.
Pada hari kedua pelaksanaan pelatihan ini, pembelajaran terpusat pada aspek kondisi psikologis korban, dampak kekerasan seksual, teknik konseling, pelaksanaan mandatory counseling, serta prosedur rujukan ke berbagai layanan. Adapun bagian penting dari agenda hari kedua pelaksanaan pelatihan ini adalah penerapan praktik simulasi konseling.
Psikolog Mitra UPTD PPA, Iyan Afriyani turut hadir dalam memberikan penjelasan mengenai kondisi psikologis korban dan dampaknya. Ia menjelaskan bahwa respons yang mungkin muncul pada korban kekerasan seksual meliputi respon “Fight (Bertahan), Flight (Melarikan diri), Freeze (Terdiam)”. Hal tersebut kemudian berdampak pada trauma yang akan mengakibatkan berbagai dampak emosional seperti rasa takut dan kebingungan. Dalam situasi krisis seperti ini, penting untuk memberikan respons yang tepat, menilai faktor keamanan, memenuhi kebutuhan medis, dan memberikan dukungan psikologis yang diperlukan korban.
Dampak psikologis memegang peran kunci dalam penanganan kasus kekerasan seksual, terutama dalam asesmen dan pemulihan korban. Asesmen awal dilakukan oleh beberapa orang untuk memberikan korban kenyamanan, dan pemeriksaan lebih lanjut oleh profesional kesehatan mental. Psikolog klinis membantu dalam pemulihan korban, sementara psikolog atau psikiater mungkin diperlukan tergantung pada hasil asesmen. Dalam kasus perbedaan keterangan antara korban dan terlapor, forensik kejiwaan dapat dipanggil untuk investigasi lebih lanjut.
Materi tersebut sejalan dengan sesi yang dibawakan oleh Istiqomah Yungsiana, S.Psi., M.Psi, atau Mbak Isti setelahnya mengenai konseling bagi korban kekerasan seksual. Sesi ini menjadi hal yang menarik pada hari kedua pelatihan dimana peserta diberi kesempatan untuk membentuk tim dan melakukan simulasi (roleplay) berdasarkan studi kasus yang telah disediakan. Adapun peran yang diberikan adalah sebagai satgas PPKS, konselor/psikolog, dan korban kekerasan seksual.
Melalui simulasi ini, peserta mendapatkan pengalaman langsung dalam menghadapi situasi yang mungkin dihadapi dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Peserta juga belajar bagaimana mendengarkan dengan empati, memberikan dukungan yang sesuai, dan membantu korban untuk mengungkapkan pengalaman mereka dengan aman. Hal semua adalah keterampilan yang sangat penting dalam membantu korban dan memastikan bahwa mereka mendapatkan bantuan yang mereka butuhkan.
Keberagaman skenario yang dikreasikan oleh peserta memberikan uji tantangan yang beragam, hal tersebut memungkinkan peserta untuk mengasah kemampuan mereka dalam merespons berbagai situasi. Simulasi ini secara efektif mempersiapkan peserta dengan keterampilan yang diperlukan untuk memberikan bantuan yang efektif saat menangani kasus kekerasan seksual dalam lingkungan sehari-hari.
Konseling psikologis memang menjadi elemen penting dalam penanganan kasus kekerasan seksual, dan prosesnya memiliki tahapan yang ketat sesuai peraturan. Keselarasan dan kerjasama antara para profesional serta pihak terkait adalah kunci dalam memberikan bantuan yang tepat kepada korban dan memastikan penegakan hukum yang adil.
Lebih lanjut, Mbak Isti menjelaskan bahwa terdapat beberapa keterampilan komunikasi dasar yang harus dikuasai ketika melakukan konseling. Contohnya seperti bertanya dengan pertanyaan terbuka, meringkas isi atau melakukan paraphrase pernyataan klien menjadi kalimat yang lebih pendek, refleksi perasaan dan isi atau kata-kata yang sulit dikatakan oleh klien, meminta penjelasan atau mengklarifikasi klien, atau melakukan pendekatan seperti memberikan isyarat verbal maupun non-verbal kepada klien untuk bisa membuka ceritanya. Selain itu, ada juga konfrontasi yang dilakukan konselor ketika ada kesenjangan antara verbal dan non-verbal yang diperlihatkan atau ditunjukkan oleh klien.
“Keterampilan konseling ini penting dilakukan atau diterapkan saat tahap pemeriksaan maupun mandatory konseling” ujar Mbak Isti. “Psikolog memang harus memberikan persuasi dan butuh jejaring agar nanti bisa tetap mengawal korban” tambahnya.
Dengan pemahaman mendalam, keterampilan konseling, serta langkah-langkah konkrit dalam menangani kasus kekerasan seksual, pelatihan ini telah membekali peserta dengan alat yang kuat untuk memberikan dukungan yang lebih baik kepada korban dan memastikan keadilan serta perlindungan yang tepat.