Berita BaKTI
  • admin
  • 11 December 2018

Pelatihan Kompetensi Analis Kebijakan untuk ASN dan Non-ASN lingkup Aceh

Pelatihan Kompetensi Analis Kebijakan untuk ASN dan Non-ASN lingkup Aceh

Oleh: Rio Afifuddin

Semangat awal pentingnya Jabatan Fungsional Analis Kebijakan (JFAK) menjadi kebutuhan bagi setiap instansi pemerintah baik di tingkat nasional maupun daerah untuk mempersiapkan aparatur yang berkompeten untuk menjadi Analis Kebijakan (AK) yang profesional di instansi masing-masing. Seorang analis kebijakan didefinisikan sebagai seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang mempunyai tugas, tanggung jawab, serta wewenang untuk melaksanakan kajian dan analisis kebijakan di instansi pusat dan daerah.

Melihat perkembangan saat ini dengan semakin kompleksnya permasalahan dalam kebijakan publik, kebutuhan terhadap kompetensi Analis Kebijakan tidak hanya dibutuhkan oleh ASN di sektor publik. Oleh sebab itu, untuk memperkuat eksistensi Analis Kebijakan sebagai sebuah profesi, Lembaga Administrasi Negara (LAN) selaku instansi pembina Jabatan Fungsional Analis Kebijakan (JFAK) sedang melakukan penyusunan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) yang dapat digunakan sebagai mekanisme sertifikasi profesi Analis Kebijakan.

Dalam upaya mendukung proses ke arah sertifikasi profesi Analis Kebijakan, LAN bekerjasama dengan Knowledge Sector Initiative (KSI) untuk pelaksanaan kegiatan pengembangan profesi Analis Kebijakan, yang kemudian berkolaborasi dengan BaKTI untuk menyelenggarakan Pelatihan Kompetensi Analis Kebijakan. Melalui pelatihan ini para peserta akan memperoleh pengetahuan dan kemampuan sebagai Analis Kebijakan yang nantinya dapat menjadi modal untuk mengikuti sertifikasi profesi Analis Kebijakan sesuai standar dalam KKNI Profesi Analis Kebijakan di Indonesia.

Pelatihan Kompetensi Analis Kebijakan telah dilaksanakan di Hotel Hermes Palace, Banda Aceh selama lima hari dari tanggal 26-30 November 2018. Dua puluh sembilan peserta terpilih dari berbagai latar belakang baik dari ASN maupun Non-ASN seperti Pemerintah Aceh (provinsi maupun kabupaten dan kota), perguruan tinggi dan akademisi, pihak swasta, mitra pembangunan internasional, organisasi masyarakat sipil, maupun PKP2A IV LAN Aceh. Pemerintah Aceh melalui Badan Perencanaan dan Pembangunan Aceh (Bappeda Aceh) turut berpartisipasi dalam penyebaran informasi dan pelaksanaan seleksi peserta dalam kegiatan ini.

Instruktur pelatihan ini adalah para ahli bidang kebijakan publik yang berpengalaman, yaitu Dr. Retno Sunu Astuti, M.Si (Pakar Manajemen dan Kebijakan Publik Universitas Diponegoro), Dr. Sait Abdullah, S.Sos, M.Pol, Adm dari Pusat Pembinaan Analis Kebijakan (PUSAKA-LAN); dan dua instruktur dari PKP2A IV LAN Aceh; Said Fadhil, S.IP, MM (Kepala Bagian Administrasi PKP2A IV LAN Aceh), dan Ir. Faizal Adriansyah, M.Si (Kepala PKP2A IV LAN Aceh). Turut hadir dalam kegiatan Pelatihan ini adalah Bpk. Budhi Bahroelim dari Knowledge Sector Initiative, dan Bpk. A. Madjid Sallatu dari JiKTI/BaKTI.

Di hari pertama pelatihan, Budhi Bahroelim memberikan pengantar kegiatan dengan menekankan pentingnya semangat evidence-based policy atau kebijakan berbasis bukti dalam penyusunan dan implementasi kebijakan di Indonesia, yang juga semangat yang dikembangkan oleh KSI. Beliau menambahkan bahwa KSI bekerjasama dengan LAN untuk mengembangkan profesi Analis Kebijakan, termasuk dengan kerjasama bersapa KPPOD (Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah) dan AAKI (Asosiasi Analis Kebijakan Indonesia) untuk mengembangkan SKKNI atau Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia untuk Profesi Analis Kebijakan. Profesi Analis Kebijakan sendiri bertugas menerjemahkan rumusan kebijakan untuk diterapkan di publik.

Kepala Bidang Perencanaan Pembangunan Ekonomi dan Ketenagakerjaan (P2EK) Bappeda Aceh, Marthunis Muhammad menyampaikan bahwa Pemerintah Aceh melihat pengembangan Profesi Analis Kebijakan sebagai kebutuhan di Aceh, melihat tantangan yang dimiliki Aceh dari bidang kebijakan pembangunan. Dilihat dari perkembangan dewasa ini, indikator pembangunan Aceh jauh lebih rendah dari rata-rata nasional dan daerah lain di Indonesia, sementara anggaran yang dimiliki Aceh sangatlah besar. Oleh karena itu, beliau menekankan pentingnya menghasilkan Analis Kebijakan yang tangguh dan mampu memberikan kajian dan masukan yang baik agar ranah kebijakan di Aceh menjadi tepat sasaran, mengingat sokongan otonomi khusus untuk Aceh mempunyai masa waktu yang tidak lama lagi. Pak Marthunis secara resmi membuka pelaksanaan kegiatan Pelatihan.

Hari Pertama

Ibu Retno Sunu Astuti sebagai instruktur pelatihan hari pertama membuka hari pertama pelaksanaan pelatihan dengan materi konsep dan studi kebijakan publik. Dalam pengantarnya, Ibu Retno menekankan definisi kebijakan publik sebagai suatu kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah dalam mewujudkan tujuan dan sasaran tertentu atau unutuk memecahkan masalah tertentu. Lebih lanjut, kebijakan publik dalam konsepsinya adalah proses perumusan dan implementasi yang meliputi serangkaian kegiatan yang direncanakan dan melibatkan interaksi antara instansi pemerintah, politisi, legislatif, dan masyarakat. Kebijakan publik juga melibatkan nilai-nilai dan kepentingan sera anggaran sehingga prosesnya sangat kompleks. Berikut adalah gambaran sederhana mengenai proses kebijakan publik.

Dalam kontekstual Pemerintahan di Aceh, Qanun berlaku sebagai produk legislasi yang berskala kedaerahan atau disebut Perda Syariah. Berdasarkan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, dinyatakan bahwa Qanun Aceh adalah Peraturan Perundang-Undangan sejenis Peraturan Daerah yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat di Aceh. Qanun Aceh adalah peraturan yang berlaku di seluruh wilayah Aceh, disahkan oleh Gubernur setelah mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Aceh. Qanun Kabupaten/Kota berlaku di masing-masing kabupaten/kota setelah mendapat persetujuan bersama dengan DPRKab/DPRKota. Meskipun demikian, materi muatan yang ada di qanun tidak boleh melampaui materi yang seharusnya dimuat dalam Perda.

Dalam pembahasan selanjutnya, Ibu Retno menjelaskan mengenai evidence-based policymaking, yaitu perumusan kebijakan yang seluruh tingkatan prosesnya didasarkan pada data dan informasi dari hasil-hasil penelitian atau informasi lain yang relevan untuk mencapai efektivitas kebijakan. EBP merupakan sebuah metode yang digerakkan dalam pemerintahan publik dewasa ini karena implementasinya akan mengurangi pemborosan pengeluaran, memperluas program yang inovatif, dan memperkuat akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan. Selanjutnya, Ibu Retno menjelaskan bahwa EBP dapat diterapkan di seluruh proses kebijakan publik, mulai pada penetapan agenda, perumusan dan penyusunan kebijakan, implementasi kebijakan, dan evaluasi kebijakan.

Hari Kedua

Ibu Retno kembali mengajar di hari kedua pelatihan dengan mata ajar Analisis Kebijakan Publik. Dalam pemaparan beliau, analisis kebijakan menjadi penting untuk diwujudkan karena beberapa indikator; diantaranya karena kinerja kebijakan publik yang masih belum memuaskan, sebagaimana diilustrasikan pada; rendahnya index kerja nasional (HDI, Government Effectiveness, Doing Businesss, CPI, dll.); dan banyaknya kebijakan bermasalah di tingkat Pusat maupun Daerah. Dalam penjelasan beliau, Analisis Kebijakan didefinisikan sebagai sebuah proses untuk menentukan atau mengembangkan alternatif kebijakan dan membuat pilihan kebijakan yang dianggap paling tepat untuk mencapai tujuan.

Lanjut ibu Retno adalah bahwa berdasarkan Permen PAN dan RB 45 Tahun 2013 tentang Jabatan Fungsional Analis Kebijakan dan Angka Kreditnya, seorang AK melakukan kajian dan analisis untuk membantu merumuskan cara untuk memecahkan masalah. Selain itu, seorang AK juga bertugas menyediakan informasi tentang konsekuensi dari suatu kebijakan. Seorang AK juga diharapkan dapat mengidentifikasi isu publik yang perlu menjadi agenda kebijakan pemerintah. Namun demikian, keputusan akhir berada pada Pembuat Kebijakan (policy makers). Berikut adalah alur cakupan kegiatan Analis Kebijakan.

Pada paruh kedua dari hari kedua pelaksanaan Pelatihan, ibu Retno membagi peserta menjadi enam kelompok yang masing-masing menganalisa tiga kasus terkini. Hasil Analisa yang diharapkan merupakan hasil kajian sebagai Analis Kebijakan dengan mempertimbangkan tugas dan proses analisis kebijakan yang telah dijabarkan. Ketiga kasus tersebut adalah; 1) Toko Swalayan Modern: Kebutuhan atau Kepentingan; 2) Penggunaan Cantrang (Alat Penangkapan Ikan Laut yang Kontroversial): Nestapa atau Keberuntungan; dan 3) Pemberian ASI Eksklusif pada Bayi: Kebutuhan dan Keharusan. Setelah melakukan analisis per kelompok, setiap kelompok melakukan presentasi hasil analisis yang masing-masing telah lakukan.

Hari Ketiga

Pak Sait Abdullah dari PUSAKA-LAN menjadi instruktur pelatihan di hari ketiga, dengan membawakan materi penyusunan dan pendekatan Policy Brief atau saran kebijakan. Dalam pemaparannya, Pak Sait menjabarkan definisi PB sebagai sebuah dokumen ringkas dan netral yang berfokus pada isu tertentu yang membutuhkan perhatian pengambil kebijakan. PB memaparkan alasan dan rasional pemilihan alternatif kebijakan tertentu yang ada ada pada tataran perdebatan kebijakan. Lanjut beliau, bahwa berbeda dengan Policy Paper yang bersifat akademis, Policy Brief bersifat ‘profesional’ karena ditargetkan untuk pembaca yang memiliki waktu terbatas untuk mengambil keputusan untuk kebijakan.

Dalam menyusun PB, Pak Sait menjabarkan bahwa perlu untuk mengetahui audience yang akan membaca PB tersebut. Setelah itu, PB harus fokus pada topik dan tujuan mengapa perlu untuk dibuatkan alternatif kebijakan. Fakta formal dan bukti yang mendukung tujuan perlu untuk diidentifikasi dan dijabarkan, serta rekomendasi yang ditawarkan harus bersifat praktis dan nyata. Intinya, PB menjelaskan isu dan masalah, konteks, cakupan dan dampak. PB mengeksplorasi berbagai penyebab, hubungan antar berbagai isu terkait, serta mengidentifikasi implikasi temuan dalam analisis terhadap aktor-aktor kunci. Adapun format PB yang dijabarkan oleh Pak Sait adalah terdiri dari; 1) Judul, 2) Ringkasan Eksekutif, 3) Pendahuluan, 4) Deskripsi Masalah, 5) Rekomendasi Kebijakan, 6) Kesimpulan, 7) Apendiks atau Lampiran jika perlu, dan 8) Daftar Pustaka. Dari delapan format ini, disampilkan ada tiga bagian utama dari PB; yaitu Analisis Masalah; Analisis Solusi; dan Komunikasi dan Advokasi Kebijakan.

Pada paruh kedua di hari ketiga, Pak Sait membagi peserta ke dalam enam kelompok, menyoroti suatu kebijakan yang ditentukan sendiri oleh kelompok masing-masing untuk kemudian disusun dalam sebuah ringkasan policy brief. Setelah berdiskusi dan melakukan proses penyusunan policy brief, setiap kelompok kemudian memaparkan hasil penyusunan mereka, yaitu diantaranya:

1.    Kelompok 1: Policy Brief Strategi Penurunan Angka Kemiskinan Petani Padi di Aceh
2.    Kelompok 2: Ada ADG (Alokasi Dana Gampong), Kok Desa Masih Miskin?
3.    Kelompok 3: Merajut Sinkronisasi Pemangku Kepentingan: Memperkuat Aceh Damai
4.    Kelompok 4: Policy Brief Pencegahan Perilaku Korupsi di Aceh
5.    Kelompok 5: Dana Otsus (Otonomi Khusus) Aceh, Untuk Siapa?
6.    Kelompok 6: Policy Brief CPNS 2018: Dilema Kekosongan Formasi vs. Kualitas Calon ASN


Dalam penutupnya, Pak Sait menyimpulkan bahwa policy brief memiliki dua tujuan utama, yaitu sebagai media eksplorasi dan advokasi. Sebagai media advokasi, policy briefs memberikan pilihan terhadap sebuah solusi kebijakan tertentu, sedangkan sebagai media eksplorasi, policy briefs terdiri atas diskusi, pembahasan dan perdebatan tentang masalah kebijakan dan berbagai alternatif solusi tanpa memberikan suatu rekomendasi terpilih.

Hari Keempat

Pak Said Fadhil dari PKP2A IV LAN Aceh menjadi instruktur pelaithan di hari keempat, dengan dua mata ajar; yaitu Stakeholders Mapping dan Advokasi Kebijakan. Di mata ajar pertama, Pak Sait Fadhil menjabarkan bahwa memahami Stakeholders Mapping sangat perlu, karena seorang analisis kebijakan diharapkan mampu untuk mengidentifikasi peran, hubungan, melakukan analisis dan strategi komunikasi dari dan kepada pemangku kepentingan dalam ranah kebijakan.

Lanjut beliau adalah, berdasarkan PermenPAN dan RB 45/2013 tentang JFAK dan Angka Kreditnya, seorang AK melakukan kerjasama dan konsultasi dengan pejabat publik dan pemangku kepentingan; menyelenggarakan konsultasi, dialog dan diskusi dengan para pemangku kepentingan untuk memperoleh tanggapan terhadap usulan rancangan kebijakan dan rekomendasi kebijakan. Tugas lainnya adalah bahwa seorang AK diharapkan mampu melakukan advokasi kebijakan.

Isu yang mengemuka dalam sesisi ini adalah terjadinya pergeseran paradigma dari government menjadi governance menuntut pembuat dan analis kebijakan untuk memahami stakeholders mapping. Analisa dari para ahli yang berkecimpung dalam proses kebijakan, memberikan informasi penting akan; Identifikasi siapa saja yang akan dipengaruhi; siapa saja yang dapat memengaruhi baik dalam proses maupun hasil dari sebuah kebijakan; pihak mana saja yang harus terlibat; dan identifikasi siapa saja yang perlu memperoleh peningkatan kapasitas untuk kemudian terlibat secara aktif dalam proses kebijakan. Lebih jauh, Pak Said menekankan bahwa perubahan paradigma ini memberikan ruang kepada masyarakat, bahkan sebagian pekerjaan yang awalnya dilakukan oleh pemerintah kini beralih kepada masyarakat dan swasta. Peran masyarakat yang kuat diindikasikan dengan pengawasan masyarakat yang semakin kuat terhadap kebijakan melalui evaluasi kebijakan.

Dalam paruh kedua dari hari keempat, Pak Said Fadhil menjabarkan advokasi kebijakan, yaitu cara dan usaha sistematik dan tergorganisir untuk mempengaruhi dan mendesakkan terjadinya perubahan dalam kebijakan publik secara bertahap dan maju. Upaya dalam kebijakan publik ditujukan untuk memperbaiki atau merubah suatu kebijakan sesuai dengan kehendak atau kepentingan mereka yang mendesakkan terjadinya perbaikan atau perubahan tersebut. Advokasi dalam kebijakan berangkat pada visi pembangunan sosial, yaitu adanya concern dengan pemberdayaan dan pembangunan masyarakat melalui aksi sosial. Namun demikian, pak Said juga menekankan bahwa advokasi kebijakan tidak semata-mata bersifat charity, tetapi menjadi alat dan mekanisme yang bisa dipakai untuk memperjuangkan perubahan kebijakan dan terwujudnya keadilan sosial.

Dalam pemaparan akhirnya, Pak Said Fadhil menjabarkan konsultasi publik sebagai bentuk partisipasi masyarakat dalam pembuatan kebijakan. Untuk itu, konsultasi publik merupakan sebuah keharusan di suatu negara demokrasi. Melalui proses ini, terjadi hubungan dua arah antara pemerintah dan masyarakat, meskipun dalam praktiknya konsultasi publik tidak selalu berada dalam tingkatan deliberatif atau partisipatif dalam pelibatan publik, karena pengambilan keputusan tetap dilakukan oleh pihak eksekutif selaku lembaga pemegang kewenangan. Empat tingkat keterlibatan masyarakat dalam proses konsultasi publik yaitu; pertukaran informasi, konsultasi, pelibatan, dan kolaborasi.

Hari Kelima

Di hari terakhir pelaksanaan pelatihan, Kepala PKP2A IV LAN Aceh, Pak Faizal Adriansyah hadir dengan membawa materi Isu-Isu Strategis Analis Kebijakan. Dalam pengantarnya, beliau memaparkan bahwa dengan berkembangnya zaman menjadi era modern dan komputerisasi, maka perlu adanya penyesuaian yang harus dilakukan oleh setiap orang, termasuk analis kebijakan yang harus mengadaptasi isu-isu terkini. Untuk itu, setiap analis kebijakan juga harus keluar dari comfort zone dan merangkul perubahan yang ada dengan melakukan adaptasi yang diperlukan.

Pak Faizal kemudian memutar video tentang kepemimpinan yang merupakan esensi yang dibutuhkan sebagai seorang analis kebijakan. Pak Faizal menghimbau bahwa setiap individu adalah cerminan kepemimpinan dari dirinya masing-masing, maka perlu untuk menggunakan dan mengerahkan seluruh potensi yang dimiliki. Pembatasan diri dan tidak berani merangkul sebuah perubahan yang niscaya merupakan salah satu alasan mengapa banyak potensi kepemimpinan di Indonesia mengalami stagnasi. Pak Faizal menggunakan analogi kaca spion mobil yang jauh lebih kecil dibandingkan kaca depan mobil, mengindikasikan bahwa seharusnya melihat potensi kedepan menjadi fokus dari kepemimpinan, bukannya berfokus pada masa lalu.

Dalam kaitannya dengan kebijakan, terdapat banyak kebijakan di Indonesia, baik di tingkat pusat maupun daerah yang belum mampu untuk melakukan refleksi pada pentingnya beradaptasi pada zaman yang semakin berubah. Masalah-masalah kebijakan yang ada seperti; berkonflik, yaitu terdapat pasal atau ketentuan yang bertentangan dengan peraturan lainnya; inkonsisten, yaitu terdapat ketentuan atau pengaturan yang tidak konsisten dengan peraturan perundang-undangan; multitafsir, yaitu ada ketidakjelasan pada subyek dan obyek yang diatur sehingga menimbulkan interpretasi yang beragam; dan tidak operasional, yaitu regulasi yang ditetapkan tidak memiliki daya guna dalam implementasinya. Berbagai masalah ini merupakan cerminan mengapa proses analisis kebijakan dan posisi analis kebijakan menjadi sangat perlu dalam ranah kebijakan di Indonesia; karena proses penyusunan, penetapan dan pelaksanaan kebijakan selama ini keluar tidak melalui adanya proses analisis kebijakan.

Lima hari pelaksanaan kegiatan Pelatihan Kompetensi Analis Kebijakan untuk ASN dan Non-ASN memberikan pengalaman, pengetahuan, dan kemampuan bagi tiga puluh peserta untuk memahami proses pembuatan kebijakan publik mulai dari mekanisme menggagas, penentuan kebijakan, proses pelaksanaan/implementasi hingga mengevaluasi kebijakan yang telah dilaksanakan. Diharapkan dari pelatihan ini, 29 peserta Pelatihan AK di Aceh yang menjadi alumni pelatihan dapat melakukan proses pertukaran pengetahuan di wilayah kerja masing-masing yang berkontribusi untuk membangun kebijakan publik yang lebih berkualitas. Pada akhirnya, Pelatihan Kompetensi Analis Kebijakan membangun semangat belajar, membekali peserta dengan pengetahuan, kemampuan serta kompetensi yang memadai untuk kepedapannya menjadi Analis Kebijakan.