Forum Peneliti Indonesia Timur Bangun Kolaborasi dari Gorontalo untuk Wujudkan Kebijakan Berbasis Pengetahuan

"Pengetahuan tidak cukup hanya ditulis dan disimpan di laci, ia harus hidup, menjadi arah, dan mengubah kebijakan." Kalimat ini menggema dalam Forum Pengetahuan Peneliti Indonesia Timur di Grand Q Hotel, Gorontalo, pada tanggal 30 Oktober 2025 yang mempertemukan peneliti, pemerintah daerah, dan sektor swasta untuk memperkuat kolaborasi menuju pembangunan berbasis ilmu pengetahuan.

Forum yang diinisiasi Yayasan BaKTI dengan dukungan Program KONEKSI (Australia-Indonesia) ini bertujuan menjembatani hasil penelitian dengan pengambil kebijakan dan pelaku usaha. Kawasan Timur Indonesia (KTI) yang kaya sumber daya alam masih menghadapi tantangan ketimpangan dan rendahnya indeks pembangunan manusia. Melalui forum ini, diharapkan penelitian tidak berhenti sebagai laporan, tetapi menjadi dasar kebijakan dan inovasi.

Dr. Aryanto Husain, Pokja Forum Kawasan Timur Indonesia (POKJA FKTI) sekaligus Kepala Dinas Pariwisata Gorontalo, dalam sambutannya menekankan pentingnya pendekatan ilmiah dalam kebijakan daerah. "Sudah saatnya penelitian tidak hanya disimpan di lemari, tetapi menjadi bahan bakar bagi keputusan pemerintah," ujarnya. Ia mengutip konsep Doughnut Economics untuk menekankan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan batas ekologis.

Zusanna Gosal dari BaKTI menjelaskan, jaringan peneliti dihidupkan kembali pasca pandemi dengan pendekatan inklusif yang melibatkan akademisi, LSM, dan pemerintah. Sementara Endang Sulastri dari Bappenas menegaskan bahwa pembangunan berkelanjutan harus berbasis data dan riset yang inklusif, dengan memerhatikan kesetaraan gender, disabilitas, dan inklusi sosial (GEDSI).

Dari sisi implementasi, Sumarni, Koordinator Program BaKTI-KONEKSI, memaparkan fokus program pada penguatan jejaring peneliti di sembilan provinsi Indonesia Timur, termasuk pelatihan penulisan ilmiah berperspektif GEDSI dan peningkatan kapasitas peneliti perempuan.

Dr. Hijrah Lahaling, Focal Point Jaringan Peneliti Gorontalo, memperkenalkan bahwa jaringan ini telah memiliki 106 anggota dari berbagai disiplin ilmu. Ia menekankan pentingnya memetakan minat riset pada isu strategis seperti ekonomi biru-hijau dan tata kelola berbasis bukti.

Mahyuddin Humalanggi dari Bappeda Gorontalo menyoroti bahwa tanpa riset, kebijakan dapat salah arah. "Data dan analisis yang solid menghindarkan kita dari keputusan spekulatif," tegasnya. Sementara Albert Pede dari APINDO Gorontalo menambahkan, sektor swasta membutuhkan data akurat untuk investasi dan efisiensi usaha, sehingga kolaborasi dengan peneliti adalah kebutuhan strategis.


Dalam diskusi, para peserta menyoroti kesenjangan antara hasil riset dan kebutuhan pemerintah serta dunia usaha. Diperlukan format komunikasi yang lebih aplikatif agar penelitian tidak hanya menjelaskan masalah, tetapi juga menawarkan solusi praktis.

Forum ini ditutup dengan semangat bersama untuk menjadikan pengetahuan sebagai alat perubahan. Seperti disampaikan seorang peneliti muda, "Penelitian tanpa keberpihakan pada masyarakat hanyalah statistik. Tapi ketika riset menjadi dasar kebijakan, ia menjelma menjadi keadilan."

Forum ini bukan akhir, melainkan titik tolak kolaborasi nyata, untuk membuktikan bahwa pengetahuan dari Timur adalah kekuatan bagi pembangunan Indonesia.