Kelompok Rentan dan Perubahan Iklim
Yayasan BaKTI menggelar Diskusi Inspirasi BaKTI melalui Program INKLUSI-BaKTI bekerjasama dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Diskusi Inspirasi BaKTI dalam kerangka pelaksanaan kegiatan Festival Media tahun 2025 ini menyelami persoalan yang paling mendesak saat ini, tetapi juga yang paling sepi dari perhatian publik dengan tema "Kelompok Rentan dan Perubahan Iklim".
Diskusi Inspirasi BaKTI yang dilaksanakan pada 12 September 2025 di Benteng Rotterdam Makassar ini menghadirkan Nirwan Dessibali, Direktur Yayasan Konservasi Laut dan Rahma Amin, Jurnalis. Diskusi ini dimoderatori Putri Ayu Lestari, pengurus AJI Makassar.
Diskusi kali ini menyelami persoalan yang paling mendesak saat ini, tetapi juga yang paling sepi dari perhatian publik. Bagaimana perubahan dampak iklim terhadap kelompok rentan, yang mana kelompok rentan dalam perubahan iklim itu yang paling pertama mendapatkan dampaknya, tetapi juga yang paling terakhir mendapatkan penanganan atau perlindungan.
Dalam diskusi ini, kelompok rentan seperti perempuan, anak kecil, lansia dan penyintas bencana lainnya, dibahas di tengah tekanan terhadap lingkungan dan tatanan sosial saat ini. Mereka memperoleh dampak yang berlapis. Mulai dari kehilangan sumber kehidupan, ruang hidup, juga kerap kali suaranya ditenggelamkan sehingga mereka tidak mendapatkan ruang untuk mendapatkan hak-haknya.
Beberapa catatan penting dari diskusi ini antara lain dampak perubahan iklim yang terjadi di pesisir dan pulau kecil. Pertama, pemutihan dan kematian massal terumbu karang, naiknya permukaan air laut, abrasi pulau, banjir rutin di pulau-pulau kecil, serta hilangnya sumber daya ikan yang mengancam ketahanan pangan dan ekonomi masyarakat. Perubahan pola musim membuat penangkapan ikan sulit diprediksi, memperburuk kerentanan nelayan dan masyarakat pulau.
Poin kedua adalah kerentanan kelompok perempuan dan masyarakat pulau. Perempuan di pulau memikul beban ganda, mengurus rumah tangga sekaligus mengelola ekonomi keluarga, tetapi jarang terlibat dalam pengambilan keputusan pembangunan. Minimnya layanan kesehatan, pendidikan, dan fasilitas transportasi memperparah kerentanan, terutama bagi ibu hamil, difabel, dan lansia. Kasus pernikahan dini juga banyak terjadi karena keterbatasan akses pendidikan dan aktivitas produktif.
Poin berikutnya adalah praktik adaptasi dan konservasi berbasis komunitas. Inisiatif lokal seperti sistem “Buka Tutup Gurita” dan pelestarian mangrove di Lantebung terbukti membantu memulihkan ekosistem laut, meningkatkan pendapatan nelayan, dan mengurangi risiko banjir. Cerita-cerita ini menunjukkan bahwa pendekatan berbasis komunitas itu efektif untuk membangun ketahanan terhadap perubahan iklim.
Peran media dan tantangan pemberitaan isu iklim juga menjadi salah satu poin penting. Media diharapkan mengedukasi publik dan menjadi saluran suara kelompok rentan, tetapi liputan cenderung dangkal, fokus pada peristiwa dan kurang mengangkat analisis mendalam serta solusi. Hambatan politik redaksi, kepentingan pemilik media, minimnya pelatihan jurnalis dan rendahnya kesejahteraan wartawan membuat isu lingkungan dan hak masyarakat marginal sulit mendapat sorotan yang memadai.
Terakhir adalah rekomendasi kolaborasi dan penguatan kapasitas. Diskusi ini menekankan perlunya kolaborasi antar lembaga, media dan komunitas lokal untuk liputan yang lebih inklusif dan advokatif. Jurnalis daerah perlu pelatihan intensif agar dapat mengangkat isu iklim dari perspektif lokal. Media juga disarankan menyederhanakan bahasa liputan, memperbanyak cerita adaptasi dan memiliki kebijakan internal untuk mendukung liputan inklusif dan berkelanjutan tentang perubahan iklim.