Kunjungan Koordinasi Yayasan BaKTI dan UNICEF dalam Memperkuat Sistem Perlindungan Anak di Sulawesi Selatan

Yayasan BaKTI dan UNICEF melakukan kunjungan koordinasi ke tiga Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) di Sulawesi Selatan, yaitu Kota Makassar, Kabupaten Maros, dan Kabupaten Gowa. Kegiatan ini menjadi bagian dari komitmen memperkuat sistem perlindungan anak di tingkat lokal melalui program Penguatan Sistem Perlindungan Anak (SPA) tahun 2025. Kunjungan ini bertujuan membagun sinergi lintas sektor, menyelaraskan rencana kerja, serta memastikan kesiapan daerah dalam implementasi program secara menyeluruh dan berkelanjutan.

DP3A Kota Makassar menjadi tujuan pertama pada 26 Mei 2025. Tim UNICEF yang diwakili Tria Amelia Tristiana bersama Tim Yayasan BaKTI yang terdiri atas Andi Nurlela, Junardi, dan Nora Yuliana diterima langsung oleh Kepala DP3A, Ibu Achie Soleman, STP., M. Si. Pada diskusi tersebut, Ibu Achie menyoroti pentingnya keterlibatan semua Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dalam perlindungan anak. Persepsi yang selama ini berkembang bahwa urusan anak sepenuhnya menjadi tugas DP3A dinilai tidak tepat. Setiap sektor, mulai dari pendidikan, kesehatan, sosial, hingga hukum memiliki peran dan tanggung jawab dalam menjamin perlindungan dan pemenuhan hak anak. Pemahaman ini diharapkan dapat ditanamkan dalam sistem kerja lintas sektor di tingkat kota.

Penjelasan lebih lanjut disampaikan oleh Tria Amelia Tristiana dari UNICEF. Sistem perlindungan anak yang kuat dibangun melalui sinergi antara kebijakan, layanan, masyarakat, dan keluarga. Lima pilar utama menjadi dasar dalam pendekatan SPA yaitu orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, pemerintah daerah dan negara. Setiap pilar membutuhkan kejelasan norma, proses, dan struktur agar pelaksanaan di tingkat daerah berjalan dengan baik. UNICEF berkomitmen memberikan dukungan melalui pelatihan, pendampingan teknis, serta penguatan kapasitas Forum Anak sebagai pelopor dan pelapor dalam perlindungan anak.


Andi Nurlela dari Yayasan BaKTI menyampaikan rencana kegiatan yang akan dilaksanakan sebagai bagian dari dukungan implementasi SPA. Penyusunan Standar Operasional Prosedur (SOP) layanan rujukan dari desa dan kelurahan ke UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) menjadi salah satu fokus utama. Selain itu, pelatihan-pelatihan akan diberikan kepada pemberi layanan, termasuk petugas UPTD PPA, pendamping desa atau fasilitator masyarakat, kader PKK, serta aparat desa/kelurahan. Forum Anak juga akan dilibatkan secara aktif melalui pelatihan tentang Helping Adolescents Thrive (HAT) dan pencegahan Online Child Sexual Exploitation and Abuse (OCSEA). Diharapkan, Forum Anak mampu menjalankan perannya sebagai agen sebaya yng memberikan edukasi kepada teman-teman mereka, baik di sekolah, komunitas, masjid, desa-desa, bahkan kepada anak-anak yang berada di lingkungan Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Pendekatan sebaya ini dianggap efektif dalam menjangkau kelompok anak yang paling rentan.

Kunjungan dilanjutkan ke DP3A Kabupaten Maros pada 27 Mei 2025. Tim diterima oleh Sekretaris Dinas yang menyampaikan apresiasi atas perhatian dan dukungan UNICEF serta Yayasan BaKTI terhadap penguatan sistem perlindungan anak di wilayahnya. DP3A Maros secara khusus mengapresiasi pengurus Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) di desa-desa yang dinilai sangat responsif ketika terjadi kasus kekerasan atau pelanggaran terhadap anak. Pengurus PATBM disebut senantiasa berkoordinasi dengan UPTD PPA dan DP3A untuk penanganan lanjutan secara cepat dan tepat. Kolaborasi ini menjadi kekuatan lokal yang patut dipertahankan dan diperluas. DP3A Maros juga menyampaikan tantangan seperti keterbatasan sumber daya manusia dan anggaran, yang memerlukan dukungan teknis dan advokasi berkelanjutan.

DP3A Kabupaten Gowa menjadi tujuan terakhir pada 2 Juni 2025. Kawaidah Alham, S.Sos., M.Si selaku Kepala Dinas menerima langsung tim koordinasi dan menyampaikan berbagai isu penting terkait perlindungan anak di wilayahnya. Salah satu isu yang mengemuka adalah meningkatnya kasus nikah anak, termasuk praktik nikah siri dan permohonan dispensasi yang tercatat mencapai sepuluh kasus dalam setahun terakhir. Kawaidah menekankan pentingnya pendekatan lintas sektor, mengingat permasalahan tersebut menyangkut banyak lembaga, mulai dari pengadilan agama, Dukcapil, hingga perangkat desa dan tokoh masyarakat. Selain itu, kasus pekerja anak dan kekerasan berbasis gender juga menjadi tantangan yang membutuhkan respons sistemik dan kolaboratif.

Junardi dari Yayasan BaKTI menambahkan bahwa ke depan akan dilakukan penyusunan perencanaan dan penganggaran daerah untuk perlindungan anak, termasuk untuk situasi darurat seperti bencana alam, pandemi, atau konflik sosial. Kegiatan ini bertujuan memastikan bahwa perlindungan anak menjadi bagian dari agenda pembangunan daerah yang berkelanjutan dan adaptif terhadap risiko.

Rangkaian kunjungan koordinasi ini menghasilkan pemahaman bersama bahwa perlindungan anak tidak bisa berjalan dalam sekat sektoral. Sistem perlindungan yang efektif membutuhkan integrasi antar lembaga, penguatan kapasitas masyarakat, serta partisipasi anak dalam menciptakan lingkungan yang aman, inklusif, dan responsif terhadap kebutuhan mereka. Komitmen dari DP3A Makassar, Maros, dan Gowa menjadi langkah awal yang penting dalam membangun sistem perlindungan anak yang tangguh di Sulawesi Selatan. Kolaborasi antara pemerintah daerah, UNICEF, dan Yayasan BaKTI diharapkan mampu menjadi contoh praktik baik yang dapat direplikasi di daerah lain.

Penulis: Andi Nurlela