SHELTER WARGA

Warga Makassar Berdaya Merawat Kepedulian

Seorang perempuan muda di kelurahan Manggala, Makassar, mendatangi shelter warga. Dia melangkah pelan sambil memasuki halaman shelter. Ada perasaan kalut dalam dirinya. “Saya ingat waktu itu, akhir tahun 2022. Tapi memilih melaporkannya ke kepolisian tidak akan menyelesaikan masalah,” katanya.

Perempuan itu, adalah seorang ibu bernama Bunga (nama samaran). Ibu Bunga  mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Tubuhnya kadang kala kena pukulan, atau lemparan benda keras. Walaupun  selalu mengalah, tetap saja akhirnya ia harus memutuskan yang terbaik untuk dirinya.

Di shelter, ibu Bunga menemui pengurus. Ia bercerita dan bercucuran air mata. “Saya di sini, seperti cerita dengan teman. Cerita saja akhirnya membuat hati saya ringan,” katanya.

“Kalau saya melapor ke polisi, saya pasti akan kaku, karena berhadapan dengan orang-orang yang menggunakan seragam. Di sini tidak ada itu. Ini bukan seperti kantor, tapi ini rumah.”  Ia meminta bagaimana sebaiknya mengajukan permohonan cerai. Ibu Bunga menyadari, jika permohonan cerai bagi para Aparatur Sipil Negara (ASN) sangatlah sulit diterima. Ada banyak pertimbangan dan pertanyaan.

Sejak tahun 2016, shelter warga dibentuk Pemerintah Kota Makassar, melalui Dinas  Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A).  Shelter itu ditargetkan akan menjangkau 153 kelurahan dan hingga tahun 2023, sebanyak 70 shelter warga telah beroperasi di tingkat kelurahan.

Shelter-shelter yang telah berjalan ini, berada dalam kawasan padat penduduk, di mana penduduknya mengalami tingkat kerentanan yang tinggi. Salah satunya adalah di Kelurahan Tamamaung, kelurahan berada di belakang kampus Universitas Bosowa dan sekitar pasar Karuwisi.

Karena merupakan gerakan partisipasi masyarakat untuk pemenuhan hak dan perlindungan perempuan dan anak yang dimulai dari tingkat kelurahan, maka setiap saat warga bisa mendatangi sekretariat Shelter Warga untuk melaporkan kasus yang dialami. Laporan kasus juga diterima warga melalui pengurus RT atau RW, bahkan dari Binmas dan Babinsa.

“Warga lebih nyaman mengkomunikasikan kasus perempuan dan anak itu ke shelter warga karena di banyak lokasi masih banyak kantor polsek yang belum memiliki divisi perlindungan perempuan dan anak”, tutur Sumarni, Ketua Shelter Warga Kelurahan Tamamaung.

Rumah-rumah di sekitaran Tamamaung, saling berhimpit. Beberapa rumah bahkan dihuni lebih dari dua kepala keluarga. Di kelurahan ini jumlah penduduknya mencapai 20.000 jiwa dengan luasan wilayah 115 ha.  Dan sebanyak 400 Kepala Keluarga, merupakan penerima bantuan Program Keluarga Harapan (PKH).

Rumah-rumah itu, sebagian besar berbentuk kotak, tanpa sekat. Di beberapa rumah warga, mereka hampir tak memiliki ruang privasi untuk pasangan suami istri. 

Bangunan tanpa sekat ini lah yang menjadikan pengurus Shelter Tamamaung ikut pening. Dalam setiap sosialisasi, mereka meminta pada warga untuk membuat sekat. Tapi warga ikut mengeluh, karena kekurangan biaya.

Rata-rata keluarga rentan di Tamamaung bekerja sebagai buruh bangunan, atau buruh pasar. Mereka tak memiliki penghasilan yang tetap. “Jadi kadang kami juga kebingungan,” kata Arni Maroa, Lurah Tamamaung.

Arni mengatakan bahwa masalah sosial yang dialami warga Tamamaung sangatlah kompleks. Kekerasan terhadap anak dan perempuan terus saja terjadi. Meski demikian, shelter membantu memulihkan dan mendapatkan jalan keluar.

Selain itu, kini kelurahan Tamamaung dan shelter, telah mengajukan kepada pemerintah kota, untuk membangun sekolah tingkat SMP dan SMA. Bagi Arni, sistem zonasi dalam pemilihan sekolah sangat memberatkan warga di keluarahannya. Sekolah yang paling dekat dan masuk dalam sistem zonasi itu adalah SMP Negeri 8 dan SMA Negeri 5, di kawasan Batua Raya.

Sementara dua sekolah tersebut merupakan sekolah favorit di Makassar, dan bisa di cek, murid yang masuk sekolah di dua tempat itu apakah benar sudah sesuai zonasi. Persoalan lain pun mendera, jika SMP Negeri 8 dan SMA Negeri 5, menerima siswa dari Tamamaung, apakah warganya mampu menjangkau sekolah tersebut.

“Di Tamamaung, ini bukan jalur angkutan umum. Anak-anak harus berjalan kaki ke jalan raya. Angkutan umum yang lewat di jalan itu seringkali sudah penuh. Biaya angkutan berapa 5 ribu rupiah artinya ada seribu rupiah, ini belum biaya makan. Kalau menggunakan transportasi online, bisa lebih mahal sekitar 30 ribu rupiah. Itu pasti berat untuk warga kami,” kata Arni.

Keberadaan sekolah di Tamamaung menjadi sangat penting. Dalam pendampingan yang dilakukan pengurus shelter, angka putus sekolah pada anak, ikut meningkatkan kekerasan. Anak-anak, kata Sumarni Jufri, jika putus sekolah kemudian menikah, akan menjadi sangat rentan. “Mereka belum siap secara mental lalu membangun ikatan rumah tangga. Yang ada mereka hanya bertengkar terus menerus,” katanya.

“Dan itu, kami saksikan di sini. Dan itu membuat kami sedih,” lanjutnya.

Sumarni Jufri, adalah ketua Shelter Warga Tamamaung. Dia perempuan yang riang dan senang bergurau. “Shelter ini, tak kenal jam buka dan tutup. Tengah malam jika ada yang mengadu kami terima. Pengurus begitu, semuanya siap. Dan kami senang melakukannya.”

Tahun 2017, Shelter Tamamaung menentukan satu rumah aman, bagi warganya yang membutuhkan. Rumah aman itu kemudian hanya diketahui oleh tiga orang pengurus.

Dalam perjalanan waktu, shelter kemudian berfungsi sebagai tempat untuk saling menguatkan. Pengurus shelter yang telah mendapatkan pelatihan, kemudian dapat dengan cepat membuka ruang aman bagi warga yang membutuhkan. Shelter, menjadi tempat saling menjaga antar warga. Dan tempat layanan jangkauan yang paling dekat dengan warga.

Kebutuhan shelter warga ini menjadi sangat penting. Data SIMFONI-PPA tahun 2019, menunjukkan kekerasan terhadap anak dan perempuan di Makassar mencapai 1.351 kasus – dengan rincian kasus terhadap dewasa 673 dan kasus terhadap anak 678. Hadirnya shelter warga diharapkan dapat menekan naiknya angka tersebut dari tahun ke tahun.


Shelter Menjadi Pintu Pertama Melihat Masalah

Di Kecamatan Ujung Tanah, shelter warga kemudian terus mengembangkan diri. Mereka bahkan membuat usaha. Sebagai kawasan yang berada di wilayah pesisir, abon ikan menjadi salah satu andalan koperasi shelter ini.

Salah satu penggeraknya adalah Nuraeni. Sejak tahun 2006, dia telah memulai kegiatan sosialnya dengan membangun Kelompok Wanita Nelayan (KWN) Fatima Az-Zahra. Tahun 2016, Nuraeni kemudian ikut pula terlibat dalam shelter. Seperti sebelumnya, rumahnya menjadi sekretariat bersama.

Nuraeni adalah orang tua tunggal yang membesarkan tiga orang putra. Suaminya meninggal tahun 2004. Keuletannya, dan rasa percaya dirinya membangun komunitas di kawasannya menjadi salah satu inspirasi. “Kalau KWN itu adalah jenis usahanya. Shelter ini, jenis pengabdiannya,” kata Nuraeni.

Shelter bagi Nuraeni, adalah langkah paling tepat yang dilakukan pemerintah. Meski kemudian, dia mengakui salah satu kekurangannya adalah pengurus shelter diberikan SK atau mandat dari lurah. Kekhawatiran Nuraeni beralasan, mandat dari perangkat pemerintah dengan posisi politik seperti itu, akan bisa digoyangkan. “Saya ingin shelter ini, kemudian bersih dari kepentingan politik,” lanjutnya.

Di kawasan kecamatan Ujung Tanah, pengaduan warga ke shelter sangat beragam. Dari mulai perceraian, hingga urusan warisan. Selain itu, Nuraeni menyebutkan jika di kecamatan tersebut memiliki warga lansia yang cukup banyak, tak kurang dari 150 lansia. Nuraeni bersama pengurus shelter, akhirnya menginisiasi posyandu lansia. Bagi pengurus shelter, lansia seharusnya mendapatkan perhatian lebih karena mereka juga adalah bagian dari kelompok yang rentan.

Selain posyandu lansia,  Shelter Warga di Kecamatan Ujung Tanah juga aktif melakukan aktivitas pemberdayaan ekonomi dengan membangun Sekolah Perempuan Berdaya. Inisiatif ini lahir karena pengurus shelter sadar kalau mereka tidak dapat mendampingi  terus menerus perempuan penyintas KDRT. “Teman-teman penyintas perlu membangun hidup mandiri dan berdaya mengadvokasi diri mereka sendiri”, jelas Nuraeni.

Shelter warga yang diketuai oleh Nuraeni juga mengelola Sekolah Anak Percaya Diri. Sekolah ini diperuntukkan khusus bagi anak-anak korban kekerasan dalam rumah tangga. Saat ini ada 70 anak yang aktif mengikuti kegiatan di sana. “Seringkali anak-anak korban kekerasan dalam keluarga mengalami kehilangan kepercayaan diri. Oleh karenanya sekolah ini penting sekali untuk tetap aktif”, tutur Nuraeni.

Kehadiran shelter warga mulai terasa manfaatnya. Di banyak kelurahan di mana shelter warga beroperasi, manajemen penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak menjadi lebih baik. ”Kasus-kasus kekerasan kini  lebih cepat tertangani dan korban bisa langsung terhubung dan mendapatkan bantuan dari UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak Kota Makassar,” tutur Achi Soleman, Kepala Dinas Perlindungan Perempuan dan Anak Kota Makassar.

“Sekarang warga  berani melaporkan bila mengalami rasa tidak nyaman. Warga sudah memiliki keberanian dan kepedulian yang dulu masih sangat kurang.”, ujar Nuraeni. Menurutnya hal yang paling membanggakan adalah sudah ada perubahan pola sikap dan mental, bahkan ada pengetahuan yang lebih baik mengenai manajemen rumah tangga.

Seiring berjalannya waktu, kehadiran shelter warga sebagai rumah aman yang dekat dan memberi respons cepat bagi perempuan dan anak turut menghadirkan rasa aman bagi warga, khususnya perempuan dan anak-anak.  Shelter warga menjadi jembatan yang menghubungkan begitu banyak orang yang semakin berdaya untuk merawat kepedulian bersama bagi kesejahteraan perempuan dan anak-anak.