Bye-Bye Rentenir dari Ternate
Usaha Kecil -Menengah (UMKM) Center Ternate berperan besar dalam sosialisasi program kepada para pengusaha mikro kecil.
Hampir saja, Sarima (50) menyudahi hidupnya jika tak ingat anaknya. Kering sudah akalnya memikirkan cara melunasi hutangnya. Sebenarnya bukan hutang
pokoknya yang 25 juta rupiah yang ia pusingkan, tetapi bunganya, yang terus Hmembengkak sampai 50 juta itu. Padahal ia cuma berjualan nasi kuning dan sayuran. Untunglah ia berjumpa dengan Syamsudin, Ketua Himpunan Pedagang Kaki Lima, yang mengenalkannya dengan pinjaman lunak dari Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Malifut. Pelan-pelan, lunas juga utang itu.
Bagi kaum miskin, bisa meminjam di bank umum adalah keajaiban, soalnya banyak ketentuan yang sulit mereka penuhi. Ramailah rentenir menawarkan pinjaman, dengan bunga kadang mencapai 30% dalam dua minggu. Karena itu, BPR Malifut mengembangkan kredit lunak hanya berbunga 2,5% per bulan. Para pedagang kecil dapat meminjam tanpa memberikan agunan apapun, hanya menyerahkan fotokopi KTP.
Perbankan seharusnya memang mendekati kaum miskin dengan cara yang berbeda, karena amat terbatasnya sumber daya milik mereka. Sebagai model bank, yang dimaksudkan untuk menjawab persoalan simpan-pinjam di kalangan wong cilik,
kreatifitas BPR ditantang untuk bisa diakses kaum miskin. Dan, BPR Malifut berhasil menjawab tantangan itu. Setelah seluruh asetnya hancur karena kerusuhan atas nama agama di Maluku Utara pada tahun 1999 – 2000, Ahmad Aziz memindahkan operasi kerja BPR Malifut ke Ternate pada tahun 2005.
Seperti Sarima, kebanyakan wong cilik di sana tak berani datang untuk menabung, apalagi meminjam. Mereka pikir, seperti bank umum, juga banyak persyaratan yang dituntut oleh BPR Malifut, dari tetek bengek administratif sampai agunan. Tidak mudah memang membuat para pedagang kecil misalnya, untuk berani datang ke BPR Malifut. Tetapi, perlahan-lahan kepercayaan itu mulai tumbuh.
“Kita harus menyesuaikan diri dengan keadaan masyarakat, harus jujur, membaur dan tidak sombong, harus mengerti kebudayaan mereka,” kata Karim, Direktur BPR.
Kredibilitas yang baik itulah yang membuat para organisasi di DIAHI melirik BPR Malifut sebagai lembaga penyalur bantuan dana bergulir yang didukung OXFAM Hongkong. Pada bulan November 2008, 180 juta rupiah ditanamkan di BPR Malifut. “Diahi memfasilitasi akses modal, terutama bagi kelompok marjinal, lalu BPR melaksanakan sistem penyalurannya dengan tanpa merubah sistem mereka. Anggota DIAHI berperan sebagai fasilitator untuk anggotanya,” ujar Fathi Hanif, DIAHI. Kini, setahun kemudian, 47 orang telah menerima pinjaman.
Usaha Kecil -Menengah (UMKM) Center Ternate berperan besar dalam sosialisasi program kepada para pengusaha mikro kecil. “Anggota pelaku UMKM mencapai 150-an lebih, namun yang masuk dalam binaan kami ada sekitar 75 usaha kecil,” kata Abu Bakar SM (35), Manajer UMKM Center Ternate.
Himpunan Pedagang Kaki Lima juga banyak membantu sosialisasi pinjaman. Bahkan di sini, dibangun mekanisme pendistribusian pinjaman. “Anggota kami sekitar 80 orang. Karena jumlah dana yang dipinjamkan hanya untuk 30 orang, jadi kami buat bergilir. Mereka yang konditenya baik, nanti bisa meminjam lagi,” kata Samsudin Kaida, ketua HPKL.
Bagi pelaku usaha kelas mikro kecil, pinjaman dengan bunga 2,5% dan tanpa agunan adalah luar biasa. Dengan pinjaman selunak itu, dibandingkan pinjaman dari lintah darat, mereka dapat mengelola usaha dengan lebih tenang. Apalagi, sesungguhnya jenis usaha mereka yang umumnya sangat lokal –bahan baku dan konsumen dari lokal-memiliki kelenturan tinggi. Lihat saja, pengembalian pinjaman bahkan mencapai seratus persen.
Pinjaman tanpa agunan, memang bukan sekedar mekanisme modal. Tetapi sebuah pembelaan bagi kaum kecil untuk boleh mengubah nasib. Juga sebuah perlindungan dari sistem ekonomi rente yang mencekik. Agar Sarima tak perlu lagi berniat menyudahi hidup.