Ambon

Dari Konflik Menuju Birokrasi Profesional

Rosabeth Moss Kanter (2002) mengatakan bahwa kualitas personal yang paling penting dari seorang pemimpin adalah dapat membuat sebuah organisasi menjadi yang “sangat diinginkan, meyakinkan, dan memberi rasa percaya diri bagi orang lain”. Pemimpin yang inspirasional membantu orang lain memahami “warisan” organisasi, menggambarkan visi yang menggairahkan bagi masa depan, membangun komunitas tim dalam bagian-bagian yang mungkin berbeda, dan membantu perkembangan suatu kesamaan arti dan tujuan.

Inilah yang ingin diwujudkan M.J. Papilaja, saat mengawali jabatannya sebagai Walikota di kota yang saat itu sarat dengan konflik kemanusiaan. Saat itu kondisi dan situasi psikologis birokrasi pemerintahan kota kurang kondusif untuk pembentukan organisasi dan pengisian posisi dalam pemerintahan kota sesuai UU No 22/1999. Ini dijadikan peluang oleh Papilaja untuk mengkonsolidasi birokrasi pemerintah kota. Bukan saja konsolidasi fisik, tetapi juga konsolidasi persepsi dan wawasan tentang birokrasi yang profesional. Birokrasi yang profesional harus dimulai dari proses perekrutan dalam tubuh birokrasi itu sendiri. “Jika proses perekrutan birokrasi tidak didasarkan pada sistem yang tepat, maka profesionalisme birokrasi hanyalah sebuah angan-angan”, ungkapnya.

Mantan ketua DPRD kota Ambon ini yakin “bara konflik” akan tetap menyala jika proses perekrutan birokratnya menggunakan sistem yang tidak tepat. Karena itu, dengan dukungan Wakil Walikota, Papilaja melakukan terobosan dengan menerapkan Sistem Kompetensi Jabatan (SKJ) untuk Pemerintah Kota Ambon jajaran eselon II sampai eselon IV.

Terobosan cerdas ini mendapat dukungan dari berbagai pihak, baik dari kalangan birokrat maupun masyarakat umum. Dukungan ini semakin memuluskan terlaksananya pemenuhan prinsip keadilan dan persamaan hak yang memang menjadi tuntutan masyarakat kota Ambon saat itu. SKJ membuka peluang dan akses yang sama bagi semua pegawai yang telah memenuhi syarat baku jabatan dalam berkompetisi secara terbuka dan sehat untuk menduduki jabatan sesuai dengan kompetensi setiap calon.

Kebijakan SKJ juga diyakini dapat mereduksi praduga negatif birokrat ataupun masyarakat mengenai adanya praktik ketidakadilan dan diskriminatif dalam penetapan pejabat, khususnya dalam jabatan-jabatan publik yang pada masa lalu menjadi salah satu sumber penting pertikaian.

Ide besar ini tidak begitu saja menuai hasil. Ia mengalami proses yang panjang dengan pelibatan berbagai pihak, baik internal birokrasi maupun pihak luar termasuk perguruan tinggi dan para ahli yang aktif dalam sharing pengetahuan dan konsultasi dari tahap perencanaan hingga pelaksanaan SKJ.

Seluruh tahap perekrutan pejabat dilakukan secara transparan dan diawali dengan merekrut pejabat Sekretaris Kota. Tahapan perekrutan dimulai dari pengumuman pendaftaran calon, pengumuman hasil seleksi administrasi, psiko test, hingga uji publik. Keseluruhan proses disiarkan melalui berbagai media massa di kota Ambon. Perekrutan dilanjutkan pada eselon berikutnya dan mengacu pada SKJ sebagai panduan utama dan satu-satunya.

Satu hal yang menarik dari hasil SKJ adalah suksesnya beberapa perempuan menjadi pejabat-pejabat kunci di kota Ambon. Ini mengindikasikan bahwa SKJ memungkinkan terwujudnya kesetaraan Gender dalam jajaran birokrat kota Ambon.

Salah satu kandidat perempuan yang berhasil adalah dr. H.J. Huliselan yang terpilih menjadi Sekretaris Kota Ambon. Sebelum diterapkannya SKJ, ia berpikir capaian tertinggi karirnya adalah Kepala Dinas Kesehatan Kota Ambon saja. Sambil bercanda, ibu yang lebih akrab dipanggil dr. Nona ini, menyampaikan “Saya sempat minta agar dipertimbangkan kembali menduduki jabatan sekretaris kota, tapi Pak Walikota meyakinkan bahwa berdasarkan hasil seleksi menggunakan SKJ, pilihan ini sudah tepat. Inilah yang manjadi motivasi bagi saya untuk bekerja keras dan belajar dengan cepat agar dapat membuktikan kompetensi saya”.

Terkait dengan itu, keberhasilan yang paling menonjol dari SKJ adalah terjadinya efisiensi anggaran. Selain itu, terjadi perubahan prilaku birokrasi ke arah yang positif. Diakui bahwa SKJ telah menjadi struktur insentif yang telah mengubah prilaku birokrat ke arah kompetentif dan berorientasi prestasi.

Terobosan lain yang menjadi dampak dari penerapan SKJ adalah hidupnya kembali aktivitas kesenian dan olahraga di kalangan pegawai Pemerintah Kota Ambon. Suasana yang kaku pasca konflik pun menjadi cair. Terbukti, penerapan SKJ mampu melahirkan konsolidasi hati para pegawai Pemerintah Kota Ambon.

Kini para pegawai dapat melaksanakan pekerjaan kantornya dengan lebih bersemangat. Seluruh pegawai pun terdorong untuk menunjukkan kerja yang luar biasa dan berusaha meningkatkan kualitas SDMnya melalui pelatihan maupun melanjutkan pendidikan baik mengikuti program yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun secara pribadi. Bukan cuma itu, pegawai Pemerintah Kota Ambon bahkan mampu menjadi agen rekonsiliasi dalam lingkungan keluarga dan tempat tinggalnya.

Akhirnya, inisiatif cerdas semacam ini, memberi harapan baru dan menjadi sebuah pelajaran yang inspiratif tentang pengelolaan tata pemerintah yang profesional, adil dan bijak.