Hara Menaklukkan Cadas Pulau Timor
Gesti begitu sapaan akrab untuk Gestianus Sino (37 tahun). Dia seorang petani organik yang menekuni tanaman hortikultura di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Dia memanfaatkan lahan seluas 1000 meter persegi, sejak tahun 2013, dan kini mulai menikmati hasil kerja kerasnya.
Awal Maret 2023, pada siang yang gerah di beranda Gesti, kami menikmati penganan keripik pisang yang gurih. Ada kopi dan ada pula teh yang dicampurkan jahe. Sementara dua buah sprinkler berputar mengeluarkan air seperti gerimis. Di bawahnya, tanaman Bayam Merah juga Seledri, sudah nampak dari permukaan.
“Kami menyiram siang-siang. Kalau teorinya di bangku kuliah, menyiram jangan siang, tanaman bisa layu. Ya kan?,” katanya.
“Saya dulu juga percaya itu. Sekarang tidak, siram siang itu untuk menurunkan sedikit hawa panas pada tanaman,”
“Tanaman tidak ada yang mati. Saya lakukan sejak 2013.”
Gesti membuka percakapan itu dengan tenang. Kisah itu bukan lelucon, sebab dia menyelesaikan kuliah pertaniannya dari Fakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana, tahun 2011. Dia adalah pria yang datang dari Flores. Keluarganya juga berlatar belakang petani.
Bertani dan mengelolah lahan baginya adalah sebuah pekerjaan yang sungguh menyenangkan. Pekerjaan mulia tapi acap kali dilekatkan dengan kemiskinan. Gesti kemudian gusar dengan itu, caranya melawan adalah memulainya.
Kini dia mengelola tiga petak lahan. Petak pertamanya adalah lahan seluas 1000 meter persegi. Petak inilah yang menjadi tangga awalnya menciptakan inovasi. Petak itu dibelinya tahun 2012 dengan mengumpulkan uang tabungan bersama.
Gesti bersama pasangannya, Kristiani Paskalista Pati, sebelum menikah, memilih tanah yang berkontur miring. Tanah itu dipenuhi batu karang. Imajinasinya berjalan, dan kepalanya dipenuhi target besar. Dia lalu berusaha mewujudkannya. Mulai mengolah lahan pagi, dan dilanjutkan pada malam hari.
Setahun kemudian, pada November 2014, mereka menikah. Gesti yang awalnya bekerja di kebun orang lain, memutuskan berhenti, dan menekuni kebunnya sendiri. Pagi sekali, ketika orang lain belum bangun, dia bersama istrinya menuju kebun, dan memikul air. Dia mencungkil batu-batu karang yang kokoh. Tapi kemudian, mereka memutuskan mengajukan pinjaman pada sebuah koperasi untuk membeli mesin penghancur batu.
Orang-orang yang melihatnya keheranan. Sebab secara umum, petani biasanya membeli cangkul, atau tangki semprot. Tapi Gesti, tak ubahnya pekerja jalan yang mengebor aspal untuk dihancurkan. Hantaman alat penghancur itu, menjebol batuan batuan keras. Pelan-palan kemudian batu yang besar berubah menjadi kerikil.
Persoalan kembali, air menjadi kendala utama. Dia kemudian membeli air seharga Rp60 ribu untuk satu tangki ukuran 500 liter, dan membutuhkan sedikitnya empat tangki dalam sebulan. Hitungan beban semakin meningkat, dan tidak memungkinkan.
Akhirnya, dia membuat sumur bor, dengan tiga kali angsuran, dengan biaya mencapai Rp37 juta, pada kedalaman air sekitar 90 meter. Tapi sebelumnya telah siap kolam yang bisa menampung 6.000 liter dengan lama pengisian 1 jam.
Sumur bor itu, Gesti ibaratkan sebagai sungai kecil pribadi. Setiap waktu dapat digunakan dan tidak mengganggu orang lain. Ketika kolam itu sudah siap, dia membutuhkan tambahan daya listrik untuk menyedot air. “Saya lihat air itu, lalu saya bilang kita menemukan masalah,” katanya.
“Masalah lain adalah, air ini tidak boleh terbuang dengan sia-sia. Karena pepaya, usia panennya 6 bulan, dan jarak tanamnya 3 meter, diselanya saya tanam sayuran, kangkung dan bayam,”
“Jadi air yang disiram akan ditadah oleh tanaman lain. Tidak terbuang sia-sia.”
Dan ketika akhirnya menemukan pola pertaniannya, dia benar-benar siap menjadi petani. “Apakah pernah dengar ungkapan, ‘kalau kamu malas sekolah, akan jadi petani?’,”
“Saya mau bilang sekarang, menjadi petani itu harus orang yang rajin. Paling rajin.”
Hara Tanaman itu Dirawat, Tanaman Tidak Dibiarkan Tumbuh Sendiri
Di NTT, matahari sudah terang sekitar pukul 05.00 dan mulai redup pada pukul 18.00. Tanah inilah yang bagi Gesti, dianugerahi siraman matahari sepanjang waktu, sebagai sumber kehidupan di bumi.
Pada Januari-Maret, kawasan ini disiram hujan. Orang-orang menyebutnya sebagai musim hujan, tapi bagi para pendatang, tetap saja sebagai musim panas. Beberapa orang di beranda Gesti, pada awal Maret, menggulung celana panjangnya hingga ke lutut untuk mendapatkan hembusan angin. Atau bahkan lengan kaos pendeknya digulung hingga ke ketiak.
Di sekitar kebun Gesti, hamparan bukit memang terlihat hijau dengan rumput dan tanaman perdu yang daunnya hijau lebat. Tapi jelang April hingga Desember, semua akan berubah menjadi kuning, seperti warna terbakar. Keadaan inilah yang menjadikan NTT diliputi stigma sebagai tanah tandus.
Tapi Gesti menepisnya. Dia hanya membutuhkan teknologi dan sentuhan kesabaran serta keuletannya. Saat kebunnya sudah benar-benar rata, dia berjalan dan melihat proyek pembangunan jalan, yang sisinya membongkar tebing dengan tanah urugan yang banyak.
Dia mendekati para pekerja proyek dan meminta tanah-tanah itu diangkut ke kebunnya, dengan harga setiap truk Rp300.000. Pelan-pelan dan secara berkala, ratusan truk tanah itu kemudian dipindahkan ke hamparan. Kini, tanah urukan itu tebalnya sudah hampir mencapai 1 meter.
Di atas tanah urukan, dia menanam bayam, brokoli, kentang, lobak, kailan, labu, terong, jagung, hingga bayam. Dia kemudian membuat perusahaan dengan nama CV GS Organik – akronim dari namanya Gestianus Sino.
Pada laman penjualan GS Organik onlinenya, terdapat 16 produk tanaman yang sudah dihasilkan. Hamparan itu dibaginya dengan bedengan, dengan beragam tanaman. Jika musim panen tiba, hamparan itu terlihat beragam.
Kini GS Organik telah mempekerjakan pegawai tetap sebanyak enam orang. Jika musim panen dan permintaan banyak, pekerja paruh waktu akan bertambah lebih banyak. Saat ini, omset pertaniannya dalam sebulan mencapai 30 juta rupiah.
Baginya, bertani adalah proses mengolah lahan. Tanah yang sehat akan bertumbuh tanaman yang juga sehat. Maka Gesti memerlukan perlakuan khusus pada tanahnya. Unsur hara tanah menjadi penopangnya. Jadi praktik pertaniannya, dia sebut sebagai pertanian selaras alam.
Di dekat bedengan tanaman sayuran di kebun, telah disiapkan sebuah wastafel untuk mencuci tangan bagi para pengunjung. Tapi tempat itu tak disediakan sabun pencuci tangan. Jika pengunjung hendak membersihkan tangan menggunakan sabun, maka dia mengarahkan untuk ke kamar kecil lainnya, di mana limpahan airnya akan menuju pembuangan khusus.
Wastafel pencuci tangan itu, airnya mengalir kembali ke lahan. Air itu baginya tidak akan terbuang, sebab tanaman membutuhkannya. Manusia, pada titik tertentu hanya membutuhkan air untuk membersihkan, tapi tidak untuk kehidupan intinya. Tapi tanaman, membutuhkan semua bekas air itu sebagai kehidupan.
Di kebun itu juga ada dua kolam yang membudidayakan ikan lele. Ikan yang tumbuh dari makanan organik. Gesti tahu betul, bagaimana Lele menghasilkan banyak kotoran, dan kotoran itu akan berfungsi sebagai pupuk tanaman. Maka air kolam itu, dijadikan juga semprot tanaman.
Hal lainnya adalah, di petak kecil kebun itu ada kandang berukuran 4x6 meter. Di dalamnya, ada enam ekor kambing, beberapa ekor ayam dan beberapa ekor bebek. Ternak ini, disatukan dan tidak saling mengganggu. Gesti bilang, ternak itu menjadi “mesin penggiling” sisa makanan atau sayur yang busuk. Dari kotorannya, kembali akan menjadi pupuk untuk tanaman sayur lainnya.
Gesti mengandaikan, rantai keseimbangan dan keselarasan inilah yang dipertahankan. Dia memahami rantai yang saling menguntungkan akan menciptakan lingkungan semakin baik. Sistem inilah yang juga kemudian membuat Bank Indonesia, ikut terlibat dan memberikan dukungan pada usaha pertanian organik ini.
Yosef Boli Sura, Konsultan Pengembangan UMKM Bank Indonesia NTT, mengatakan, jika pengembangan dan praktik pertanian di GS Organik ini menjadikannya ikut bangga sebagai orang timur.
Dia kemudian, memberikan dukungan untuk mesin pencacah dan pengemasan. “Di sini, kami belajar, jika pupuk itu misalkan ada di sekitar kita, bukan sesuatu yang harus dibeli,” kata Yosef.
Kini Yosef, menjadi pelanggan GS Organik. “Akhirnya, teman-teman kami, bilang, makan sayur yang bukan dari GS Organik itu rasanya aneh dan lain,” katanya.
Tahun 2020, Bank Indonesia NTT, juga memfasilitasi GS Organik untuk mendapatkan sertifikasi halal. Dukungan itu, kata Yosef, sebagai upaya pemenuhan untuk menjadi daya saing UMKM semakin baik.
Menemukan Pasar Produk Organik Premium
Tahun 2016, Gesti sangat menyadari, jika produk pertaniannya telah memberikan hasil. Dia kemudian memberanikan diri mendatangi beberapa hotel yang dianggapnya dapat membeli produk pertaniannya yang ramah lingkungan.
Menggunakan pakaian yang rapi, menggunakan sepatu, dia mengenalkan produk pertaniannya. Dia juga telah mencetak kartu nama. Waktu itu, sayuran yang ditanamnya masih sebatas bayam, kangkung, pepaya dan terong.
Tapi di hotel, orang-orang memintanya untuk menanam tanaman lain, seperti kailan, daun mint, brokoli, bit, pokcoy, nama yang asing di telinganya. “Jadi saya menawarkan produk, tapi ditawari produk lain,” katanya.
“Saya heran, apa semua sayur itu. lalu pelan-pelan, saya cari tahu. Dan saya menyanggupi,”
“Saya juga tanya ke mereka, kalau saya menanam daun selada, bisa ambil berapa? Orang hotel bilang bisa ambil 20 kg. Saya pikir itu sedikit, ternyata itu banyak.”
Gesti semakin semangat. Dia mempelajari bagaimana sayuran itu bertumbuh dan bagaimana perlakuannya. Ketika dia berhasil menanam sayuran kailan, rasanya sungguh memukau. Sebuah restoran Lung Hoa, restoran yang menyajikan menu-menu spesial dari Tionghoa di lantai dasar Hotel ASTON Kupang, menerimanya dengan baik.
Riston Manullang, Executive Chef Hotel ASTON Kupang memuji kailan hasil kebun GS Organik sangat baik. Di restoran Lung Hoa, dua ikat kailan yang telah dikukus dan siap santap, harganya mencapai 80 ribu rupiah. Sementara GS Organik menjualnya setiap kilogramnya 40 ribu rupiah. Restoran Lung Hoa bahkan tak ingin menggunakan kailan dalam menunya jika bukan produk dari GS Organik. Sebab untuk mendapatkan kailan yang memenuhi standar rasa, akan didatangkan dari Surabaya, dan resiko kerusakannya besar, karena melalui perjalanan laut ke Kupang.
Bagi Gesti ini, adalah hadiah dari upaya merawat hara di kebunnya agar tetap terjaga. Bagi Gesti, menciptakan produk pertanian yang sehat, akan melahirkan generasi yang sehat juga.
Dari lahan 1000 meter persegi milik Gesti, kini telah berkembang menjadi empat titik perkebunan. Di dua kebun lain miliknya yang berlokasi di Kecamatan Baumata terdapat lahan seluas 1,3 hektar, yang telah ditanami jagung dan pepaya, serta ditempatkan ternak sapi. Kelak lahan ini, akan menjadi pusat pengembangan GS Organik, dalam mengelola semua produknya.
Lahan ketiga seluas 3,7 hektar yang dibelinya tahun 2020, masih dalam tahap pengolahan. “Jadi nanti, lahan pertama yang 1000 meter ini, akan menjadi laboratorium bagi siapa saja yang ingin belajar pertanian secara alami,”
Petani Mesti Pandai Menjalin Kemitraan dan Berkolaborasi
“Saya merasa, ribuan sarjana pertanian yang lahir di Indonesia setiap tahunnya, hanya segelintir yang menjadi praktisi pertanian. Banyak bekerja sebagai pegawai kantoran dan menjadikan profesi petani sebagai sampingan,” ujar Gesti.
Bagi Gesti seorang petani jangan hanya memikirkan tanam dan panen saja “Kalau cuma memikirkan itu, profesi ini jadi tidak menarik”, ungkapnya. Petani itu perlu bermitra dengan berbagi pihak, terutama pihak-pihak yang relevan mendukung profesi ini. Mulai dari penyuluh, pemerintah, bank, hingga lembaga swadaya masyarakat.
“Kita tidak bisa sendiri, sekarang kalau kita mau visi kita tercapai harus bergerak bersama-sama petani, pemerintah, LSM, lembaga-lembaga yang punya kesamaan visi bergerak bersama-sama.”
Salah satu mitra yang telah bermitra dengan GS Organik sejak 2017 adalah Bank Indonesia Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Dalam konteks menjaga nilai rupiah yang tercermin dari harga barang dan jasa, dan nilai tukar mata uang asing, Bank Indonesia Provinsi NTT berinisiatif untuk melakukan pembinaan kelompok usaha kecil dan menengah dengan membentuk klaster ketahanan pangan. Dalam upaya ini lah, GS Organik kemudian menjadi mitra terpilih untuk mengelola kebun percontohan.
Bank Indonesia Provinsi NTT cukup selektif dalam memilih mitra. Hanya yang berkomitmen kuat sebagai individu dan kelompok saja yang kemudian menjadi mitra kelompok usaha klaster ketahanan pangan. Harapannya, komitmen yang kuat dari mitra ini dapat mendorong kemajuan dan keberlanjutan serta replikasi dari upaya yang sedang dikerjakan bersama.
“Kami melihat komitmen kuat dimiliki oleh Gesti sejak kami melakukan pendekatan dan ternyata terbukti. Karena yang paling utama bagi binaan kita adalah komitmen. Paling tidak komitmen untuk maju, kalau itu sudah dimiliki maka akan luar biasa hasilnya”, jelas Donny Heatubun, Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Seperti gayung bersambut, kepercayaan Bank Indonesia kemudian disambut dengan prinsip Gesti yang mengutamakan kerja total. Menurut Gesti, profesi petani itu tidak pernah mengingkari janji kalau dikerjakan secara sungguh-sungguh dan dikerjakan pakai hati, serius, dan total. “Saya kira ini saatnya, kita bisa bilang, kalau menjadi petani itu bukan pekerjaan melarat. Tapi pekerjaan yang sangat mulia.”