Kelompok Wanita Tani Tapawala Ba’di Menenun untuk Perubahan
Aku terpaku
Pada selembar kain tenun ikat
Yang sangat kusukai
Sebagaimana aku mencintai pemberinya:
Mama – El Talok, puisi Selembar Kain Tenun Ikat Mama
Tidak hanya menjadi busana yang melindungi tubuh, kain tenun ikat bagi masyarakat NTT adalah pelengkap ritual adat yang berkaitan dengan daur hidup manusia, mulai dari lahir, menikah, hingga meninggal. Kain tenun juga menggambarkan mitos dan lambang suku yang diagungkan masyarakat NTT
Awal tahun 2000 Konda Ngguna mungkin satu-satunya ibu yang dapat menggambar pola motif tenun ikat Sumba di kampungnya, Mbatakapidu, Kecamatan Kota Waingapu, Kabupaten Sumba Timur. Keterampilan yang terbilang langka ini pun adalah warisan penting dari ibu dan nenek Konda sejak ia masih kecil.
Bagi Konda Ngguna, menenun adalah cinta. Cinta pada Sang Pencipta, cinta pada Sumba, dan cinta untuk keluarga dan kerabat yang akan memakai kain-kain tenun buah tangannya. Mungkin seperti itu pula menenun bagi para wanita Sumba yang mengakrabi benang, kabokul (menggulung benang), wanggi (pembentang), daun wora (pohon nila), dan akar pohon kambu (mengkudu) untuk memberi warna biru dan merah.
Sayang sekali, belakangan ini dengan semakin banyaknya pilihan tekstil dari pabrik dengan beragam corak dan warna yang menarik, keterampilan menenun semakin jarang diminati. Menenun menjadi semakin jarang dilakukan seiring dengan langkanya pohon kambu dan wora.
Marlina Rambu Meha mulai kuatir. Sebagai seorang pendatang di Mbatakapidu, ia menangkap potensi luar biasa ibu Konda Ngguna. Di sisi lain, ibu-ibu lain di desa itu lebih banyak menyibukkan diri di rumah dan kebun masing-masing, tidak lagi menenun.
”Saya langsung tertarik untuk mengajak ibu Konda Ngguna membentuk kelompok tenun. Berkali-kali saya dan suami berusaha meyakinkan ibu Konda dan suaminya agar mau berbagi ilmu menenun dengan ibu-ibu lain sampai akhirnya mendapat restu”, ungkap Marlina. Pada awal berdiri duabelas tahun lalu, Kelompok Wanita Tani (KWT) Tapawala Ba’di hanya beranggotakan empat orang. Dua tahun kelompok ini belajar menenun sampai akhirnya menarik perhatian ibu-ibu lain untuk bergabung.
”Dulu saya hanya sering singgah di rumah kelompok sepulang menjemput anak sekolah. Satu waktu saya tergerak untuk membantu mencatat hasil pertemuan”, kenang Nur Aini, Bendahara KWT Tapawala Ba’di. Ia mengaku tertarik bergabung dengan kelompok ini karena bisa menerapkan ilmu yang diperolehnya dari bangku sekolah. Awalnya, jumlah anggota KWT Tapawala Ba’di bertambah sedikit demi sedikit hingga mencapai 26 orang di akhir tahun 2011.
Banyak ibu yang bergabung karena tergiur dengan banyaknya bantuan dari berbagai program yang disalurkan melalui kelompok. ”Anggota baru wajib mengikuti kegiatan belajar bersama dulu selama satu tahun baru setelah itu bisa terima bantuan dari program pemerintah yang disalurkan lewat kelompok”, jelas Marlina. Peraturan ini diterapkan agar semangat untuk belajar tetap menjadi motivasi utama dan perekat nomor satu bagi ibu-ibu dalam kelompok. ”Apalagi nama kelompok ini adalah Tapawala Ba’di yang artinya melihat dan sadar. Kita harus jadikan itu dasar supaya terus mau belajar”, imbuh Marlina penuh semangat.
Dari menenun ke melestarikan
Seiring berjalannya waktu, hasil tentun KWT Tapawala Ba’di mulai dikenal warga desa sekitar Mbatakapidu dan Kota Waingapu. Pesanan kain mulai berdatangan namun sulitnya mencari sumber pewarna alami mulai merisaukan kelompok ini. ”Daripada susah mencari di kebun dan hutan, kami coba tanam mengkudu, kunyit, dadap, landu kaka, dan kemiri di pekarangan. Ternyata tanaman itu tidak susah tumbuh, asalkan rajin dipelihara”, jelas Daruga Lila, Sekretaris Kelompok.
KWT Tapawala Ba’di tidak hanya berupaya melestarikan tanaman pewarna alami, mereka juga menanam beberapa jenis tanaman pangan lokal yang mulai langka ditemui.
”Kelompok kami punya kebun yang dipelihara bersama. Hasilnya untuk menambah penghasilan bagi kelompok sekaligus tempat kami belajar”, tutur Konda Ngguna.
Selain bekerja di kebun kelompok, mereka juga bekerja bersama di kebun-kebun pribadi milik anggota. Dengan demikian beban untuk mengurus kebun masing-masing pun dipikul bersama. ”Kami tertarik belajar pertanian karena ada pengetahuan baru yang bisa kami pakai untuk meningkatkan hasil kebun”, ungkap Konda.
Jadilah kelompok ini memperluas fokus belajar dan kerja mereka dari menenun ke kegiatan pertanian. ”Sejak menjadi penyuluh yang mendampingi kelompok ini, saya melihat perkembangan KWT yang awalnya belajar menenun kini telah menambah keterampilan dan pengetahuan dalam bertani, khususnya tanaman pangan lokal”, jelas Semuel Muni, Petugas Balai Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan (BP3K) Kecamatan Kota Waingapu yang telah bertugas mendampingi KWT Tapawala Ba’di sejak tahun 2007.
”Kami tertarik menanam tanaman pangan lokal karena kami dengar tanaman ini lebih mudah tumbuh dan tahan kekeringan”, jelas Daruga sambil menunjukkan benih sorgum yang tergantung di atap balai pertemuan kelompok. ”Bulan Januari lalu kami tanam sorgum, ubi mukibat, dan ganyung. Sayangnya hanya sedikit tanaman sorgum yang berhasil tumbuh karena hujan tidak sering turun. Musim tanam berikut akan kami coba tanam lagi supaya nanti benihnya bisa kami bagikan ke ibu-ibu yang lain” imbuh Daruga.
Pelestarian tanaman pangan lokal yang dilakukan KWT Tapawala Ba’di adalah bagian dari upaya Pemerintah Provinsi NTT yang senantiasa mendorong diversifikasi pangan dan pangan lokal melalui Desa Mandiri Pangan Desa Sejahtera. Tujuan program ini adalah mewujudkan kedaulatan pangan melalui diversifikasi pangan dan perubahan kebijakan.
Menabung untuk pendidikan anak
Menabung mungkin hal yang terdengar biasa. Namun kebiasaan menabung di bank sesungguhnya adalah hal yang baru bagi ibu-ibu di Mbatakapidu. ”Untuk memenuhi biaya keperluan di masa depan, biasanya kami memelihara ternak. Jika nanti diperlukan, misalnya untuk bayar sekolah anak, barulah kami jual ternak itu”, tutur Nur Aini yang mengaku dahulu banyak ibu yang berutang pada rentenir karena hasil penjualan ternak mereka tidak mencukupi kebutuhan biaya pendidikan anak.
”Pada mulanya, setelah mendapatkan sedikit dana dari menenun dan kegiatan lainnya, saya ajak ibu-ibu untuk mulai menyisihkan sedikit dari pendapatan itu dan menyimpannya di kas kelompok. Lama kelamaan, dana yang disimpan di kas kelompok semakin besar. Akhirnya kami memilih untuk membuka tabungan pendidikan di bank”, kenang Marlina seraya menunjukkan buku tabungan Bank NTT. Rekening dalam buku tabungan itu atas nama anak dari anggota KWT Tapawala Ba’di dengan saldo awal 250 ribu rupiah di bulan Juni 2011 telah menjadi satu juta rupiah setahun kemudian.
”Sekarang setiap anggota KWT Tapawala Ba’di wajib menyisihkan hasil usaha mereka setiap bulan ke tabungan pendidikan anak. Tabungan ini baru boleh kami ambil jika nanti anak-anak sudah tamat SMA”, jelas Nur Aini yang bangga bisa membuka jalan bagi anaknya untuk melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi. Hebatnya lagi, sejak awal 2012, program tabungan pendidikan yang digagas KWT Tapawala Ba’di juga bisa diikuti oleh orang lain yang bukan anggota.
Selain tabungan untuk pendidikan, kelompok ini juga menyisihkan untuk ’asuransi’ kesehatan. Asuransi kesehatan yang dimaksudkan adalah biaya yang dikumpulkan kolektif secara reguler untuk diberikan kepada anggota yang sakit dan dirawat di rumah sakit. ”Sekarang kami tidak lagi meminjam uang di rentenir jika butuh biaya berobat di rumah sakit”, jelas Nur Aini.
Perubahan menuju kemandirian
Ada kebanggan tersendiri bagi Kalekit Daimarewa, suami dari Dai Mbati yang bergabung dengan KWT Tapawala Ba’di pada tahun 2009. Ia bangga isterinya menjadi bagian dari kelompok yang telah membangun masyarakat Mbatakapidu. ”Sejak bergabung dengan kelompok ini, isteri saya semakin pandai menenun, pandai berkebun, dan bisa membantu menambah pendapatan. Kami bahkan kami sudah punya tabungan untuk masa depan anak kami yang masih kecil-kecil”, ungkap Kalekit yang tidak segan menggantikan isterinya yang sedang hamil tua mengikuti kegiatan berkebun.
Perubahan yang terjadi dalam keluarga Kalekit juga dirasakan oleh Kepala Desa Mbatakapidu, Jacob Tanda. ”Dahulu desa ini sering sekali mengalami kesulitan bahan pangan terutama pada musim kemarau. Namun setelah melihat KWT Tapawala Ba’di yang terus semangat bekerja dan membuat perubahan, warga Mbatakapidu jadi termotivasi dan mulai mencontoh kegiatan mereka”, tutur Jacob. ”Karena kelompok lain mencontoh semangat KWT Tapawala Ba’di, program-program desa pun dapat berjalan dengan sangat baik. Lumbung pangan di desa kami selalu terisi dan kami tidak lagi kuatir kelaparan saat musim kemarau panjang tiba karena pangan lokal selalu tersedia”, jelas Jacob seraya tersenyum bangga.
”Ibu-ibu anggota KWT Tapawala Ba’di ini pandai dalam mengelola bantuan. Jika bantuan dalam bentuk dana pinjaman, mereka sisihkan hasil pinjaman untuk membeli aset kelompok seperti ternak dan peralatan menenun”, ungkap Yohanis Pati Ndamung, pendamping kelompok dan Kordinator Bidang Usaha Mikro Yayasan Padang Manjoru. ”Suntikan dana pinjaman yang mereka dapatkan dari berbagai macam program bantuan dengan disiplin dikembalikan bahkan sebelum batas waktu yang ditentukan”, imbuh Yohanis yang mengakui kunci keberhasilan KWT ini adalah kebersamaan, saling percaya, dan pembagian peran yang jelas dalam kelompok.
Hingga akhir 2011, dana kas kelompok KWT Tapawala Ba’di berjumlah tak kurang dari 22 juta rupiah dan Sisa Hasil Usaha berkisar 8 juta rupiah. ”Di masa depan, jika semua aset kami sudah bisa menghasilkan, kami tidak perlu lagi bergantung pada datangnya bantuan. Dana bantuan itu bisa dialihkan pada kelompok lain yang membutuhkan”, ujar Nur Aini sambil tersenyum lepas.