Sulbar

Menikmati Listrik Sendiri di Sulawesi Barat

Adalah Linggi, Kepala Desa Batang Uru, Sulawesi Barat yang memungkinkan warga desanya menikmati listrik sendiri dengan memanfaatkan limpahan air setempat. Selama bertahun-tahun lalu, tidak ada tanda-tanda aliran listrik PLN akan masuk ke desa mereka. Namun pada awalnya para warga juga tidak yakin dengan gagasan itu, “Masa air bisa bikin keluar listrik?!”Berbekal dana pas-pasan, dan pengalaman di Yayasan Turbin dalam hal membangkitkan listrik menggunakan turbin, pelan-pelan Linggi mulai merakit pembangkit listrik itu. Dan, pada tahun 1993, rumahnya sudah diterangi cahaya neon. Tak lama, kabel-kabel pun mulai membentang ke beberapa rumah tetangga dekat. 

Desa Batang Uru kini sudah benar-benar mandiri dalam soal energi. Dalam lomba Desa Mandiri Energi pada 11-13 November 2008 di Bali, desa Batang Uru dinyatakan sebagai juara pertama. Jelas saja, jika ukuran sebagai desa mandiri energi adalah 60% kebutuhan energi dipenuhi dengan sumber energi terbarukan, warga desa Batang Uru malah sudah 100%. Itu karena desa itu sudah memiliki tiga pembangkit listrik dengan total produksi 45 Kilowatt, yang didistribusikan kepada lebih 200 keluarga. Linggi sendiri memiliki dua turbin untuk kebutuhan rumah dan bengkelnya. Selain itu, di dusun Minanga dibuat satu pembangkit yang juga digunakan untuk menggerakkan mesin penggiling padi.

Aliran listrik sendiri belum 24 jam penuh dinikmati warga. Listrik memang hanya bisa dinikmati di malam hari, dari pukul 5 sore sampai 7 pagi, tetapi kemajuan ini sudah melampaui mimpi mereka. Wajar saja jika warga desa Batang Uru bergembira luar biasa.  “Waktu lampu mau menyala kita sekeluarga memotong babi sebagai syukuran menyala lampu,” kata Veronika. “Dengan adanya listrik kita senang, karena bisa keluar malam berkumpul teman-teman untuk main-main. Juga buat belajar lebih baik,” kata Aca dengan muka berbinar. Begitu juga dengan Dewi, siswa sekolah dasar, “Kalau malam saya masih bisa belajar karena sudah ada lampu.” Tak terkecuali Hesty, yang telah 12 tahun menjadi bidan di sana tak ragu lagi memberikan obat, “Kalau dulu karena menggunakan pelita kecil, saya sering kesulitan membaca tulisan di kotak obat. Kadang-kadang obat yang diberikan jadi salah.”

Kegiatan ekonomi juga membaik. Penggilingan padi sekarang sudah bisa dilakukan. Selain itu, kegiatan ekonomi juga bisa dilakukan hingga malam hari. Berbeda dengan limpahan air yang bisa digunakan gratis, warga tidak menikmati listrik secara gratis. Setiap rumah dikenakan tarif sepuluh ribu rupiah, dan untuk setiap TV dikenakan tambahan lima ribu rupiah. “Tetapi untuk janda hanya dikenakan lima ribu rupiah saja,” kata istri Pak Linggi, bendahara Unit Pemelihara Turbin Desa (UPTD). Keberhasilan ini rupanya memancing minat desa lainnya. Sudah 50 desa yang memasang mesin pembangkit listrik buatan Linggi. Bengkel miliknya bahkan sudah kewalahan memenuhi permintaan, sayang modal yang dimilikinya tak cukup kuat. Dan pada setiap desa yang meminta, Linggi mewajibkan keterlibatan masyarakat sejak awal.
“Kunci sukses tidak lepas dari peranan masyarakat. Masyarakat harus terlibat sejak awal, mulai dari assessment, survei, perencanaan, pelaksanaan, pemeliharan, hingga pengembangan,” jelas Linggi.

Biasanya sebelum pembangkit dibangun, terlebih dulu dilaksanakan pertemuan warga untuk membentuk Unit Pemelihara Turbin Desa (UPTD), yang terdiri ketua, sekretaris, dan bendahara. UPTD ini yang akan mengelola segalanya, dari perawatan mesin, penagihan iuran, hingga pengelolaan administrasi dan keuangan. Setiap UPTD akan memiliki dua orang operator mesin yang dilatih selama dua hari, untuk mengenal cara kerja mesin, bahkan membongkar dan memasang turbin. Sementara untuk UPT diberikan pelatihan manajemen dan administrasi. Dengan demikian ketika listrik telah dialirkan, bisa dikelola dengan lancar. Tetapi juga, selain mesin yang terawat baik, keberlanjutan pasokan listrik juga ditentukan oleh pasokan air. “Karena itu masyarakat perlu sadar bahwa hutan, air, dan listrik tidak bisa dipisahkan,” kata Samuel, dari Dinas Kehutanan. Sudah pasti, UPTD juga harus menggerakkan masyarakat untuk mau menjaga, merawat, dan meningkatkan kualitas daerah tangkapan air.

Di saat Indonesia sedang krisis listrik, karena sumber pembangkit listrik yang mengandalkan bahan bakar fosil, apa yang dilakukan Linggi sungguh sebuah prestasi. Jika dihitung sejak tahun 1993 hingga 2009 ini, ia telah membangun sekitar 115 pembangkit listrik yang menghasilkan listrik sebanyak 1,15 Mega Watt, dan disalurkan kepada lebih 15 ribu pelanggan. Sekali lagi, ini jelas prestasi besar. Maka meminjam iklan Talk Less Do More, diam-diam Linggi telah banyak membuktikan bahwa tak seharusnya listrik langka. Setiap komunitas pasti bisa membuat dan mengelolanya sendiri.