Rumah Tunggu untuk Kelahiran dari Maluku Tenggara Barat
Malam itu, waktu terasa sangat lambat merangkak. Suara pria dari telepon genggamnya terdengar panik, ”Ibu, katong mau datang secepatnya seperti apa? Ombak sebesar ini mau menyeberang laut! Kita juga takut mati, ibu!” Suzana Pattiasina merasa tangannya gemetar. ”Kondisinya bagaimana pak?”, tanya Suzana ”Ketuban sudah pecah, ibu. Bayinya seperti sudah mau keluar”, suara Bapak di seberang jaringan telepon berusaha tenang. Larat, desa tempat Suzana bertugas sebagai Kepala Puskesmas berjarak satu jam dengan perahu dari desa itu. Tapi dengan kondisi laut yang sedang bergelora, hampir mustahil ibu yang sedang mempertaruhkan nyawa ini bisa segera ia tolong. ”Memang luar biasa jauh perbedaan antara proses persalinan di kota besar dengan daerah kami yang terpencil ini”, bisiknya dalam hati.
Sebagai sebuah provinsi kepulauan, 90 persen wilayah Maluku adalah lautan dan 559 kepulauan. Dengan kondisi geografis seperti ini, masyarakat di kepulauan Maluku sangat mengandalkan transportasi laut sebagai penghubung utama dan bahkan satu-satunya bagi kebanyakan pulau kecil di sana. Ditambah kondisi cuaca yang tidak menentu, akses untuk memenuhi pelayanan dasar publik, termasuk pelayanan kesehatan, menjadi tantangan tersendiri.
Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB), tempat Bidan Suzana bertugas, memiliki luas 53.521 kilometer persegi dengan 88 persen wilayah laut. Kabupaten MTB berada di antara Laut Banda dan Laut Arafura membuat transportasi laut bagi sekitar 105 ribu masyarakat yang hidup 57 pulau menjadi sangat bergantung pada musim dan perubahannya. Akibatnya, pada musim-musim tertentu, sebagian besar masyarakat akan terisolir total atau harus membayar biaya transportasi yang sangat mahal untuk dapat bepergian. Tidak sedikit korban yang timbul akibat kapal tenggelam atau terkatung-katung di laut hingga ke perairan Australia dan Selandia Baru.
Dilema layanan kesehatan di pulau kecil
Sebagai seorang bidan yang bertugas di pulau kecil seperti Yamdena, Suzana merasakan betul bagaimana faktor cuaca dan keterisolasian geografis mempengaruhi pelayanan kesehatan yang ia lakukan. Ia teringat pengalaman rekan kerjanya, Sarlina, saat perahu yang ditumpanginya tenggelam dalam perjalanan tugas dari Seira ke Saumlaki. ”Sarlina sangat trauma karena saat tenggelam ia sudah tidak bisa melihat siapa pun yang bisa menolong. Saya sangat bersyukur sampai saat ini rekan ia masih diizinkan untuk tetap hidup”, kenang Suzana.
Apa yang dialami Bidan Suzana dan Bidan Sarlina juga dirasakan oleh Kepala Puskesmas Seira, Walowahani Adriaan. ”Sering kali kami harus menempuh perjalanan laut dalam cuaca buruk, atau sebaliknya pasien rujukan harus mengambil resiko berlipat ganda melawan badai di laut demi menyelamatka nyawa. Inilah dilema kami bertugas di daerah kepulauan”, ungkap Walowahani.
Tidak hanya terjadi di laut, kendala transportasi darat pun sama beratnya. Suzana mengenang pengalaman saat ia dan beberapa petugas kesehatan menempuh perjalanan darat ke sebuah desa yang berjarak 60 kilometer. Di tengah jalan, ban mobil ambulans yang ditumpangi pecah. Perjalanan pun dilanjutkan dengan berjalan kaki melewati hutan belantara. ”Walaupun hujan turun sangat deras, kami tetap berjalan, karena sudah jadwal kunjungan petugas kesehatan”, tutur Suzanna sambil tersenyum. Senyum ramah tak pernah lepas dari wajahnya, walau tempat tugasnya berjarak 120 kilometer dari Saumlaki, ibukota Kabupaten Maluku Tenggara Barat, yang memiliki fasilitas kesehatan lebih baik.
Karena akses kesehatan yang cukup memadai di Pulau Yamdena berada di ibukota kabupaten, Saumlaki, pasien dengan komplikasi termasuk ibu hamil beresiko harus melakukan perjalanan jauh. Lima tahun lalu, angka kematian ibu hamil masih terbilang tinggi di Kabupaten MTB. Tahun 2007 jumlah Angka Kematian Ibu (AKI) mencapai 21 per 10.000 kelahiran hidup. Dengan penduduk di pulau rata-rata 10.000 maka rasio angka kematian ibu ini menjadi cukup tinggi.
Melawan badai dengan Rumah Tunggu
Pada November 2007 pemerintah Kabupaten MTB bersama UNICEF mengembangkan program pelayanan kesehatan mandiri dengan pola pendekatan gugus pulau. Dengan pendekatan ini, Kabupaten MTB membagi wilayah pelayanannya ke dalam dua gugus besar yaitu Gugus Tanimbar Selatan dan Tanimbar Utara. Setahun kemudian diadakan kerja kelompok Gugus Pulau di Saumlaki dengan peserta Tim District Team Problem Solving (DTPS) Kabupaten MTB, Kepala Puskesmas, dan Camat untuk menetapkan Kecamatan Selaru sebagai model Rumah Tunggu pertama.
Dua tahun pasca penerapan pendekatan gugus pulau, lahirlah ide Rumah Tunggu untuk menangani ibu hamil beresiko di pulau-pulau kecil dalam wilayah Kabupaten MTB. Rumah Tunggu adalah rumah yang disediakan oleh masyarakat bagi ibu hamil beresiko untuk menjadi tempat menunggu persalinan. Layanan yang disediakan di Rumah Tunggu meliputi layanan persalinan, pemeriksaan laboratorium, imunisasi ibu dan bayi baru lahir, pemeriksaan ibu dan anak pasca melahirkan, serta pemeriksaan antenatal. Rumah Tunggu juga dilengkapi fasilitas ambulans dan akomodasi serta jasa konsumsi, perlengkapan mandi, dan perlengkapan mencuci bagi satu orang penunggu.
”Rumah Tunggu dibuat untuk mengatasi persoalan ‘Tiga Terlambat’ yaitu terlambat untuk mengetahui persoalan, terlambat merujuk dan terlambat penanganan. ‘Tiga Terlambat’ inilah yang paling banyak menyebabkan ibu hamil meninggal dunia,” ujar Dr. Juliana Ratuanak, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Maluku Tenggara Barat,
Karena rumah yang menjadi Rumah Tunggu adalah milik masyarakat, tentu saja partisipasi aktif masyarakat menjadi kunci utama pelayanan yang diberikan RumahTunggu. ”Kekuatan sosialisasi dan mobilisasi Rumah Tunggu adalah pada pendekatan budaya, kekeluargaan dan agama”, jelas Dr. Juliana. “Dalam budaya masyarakat di Yamdena, dikenal konsep Duan Lolat, yaitu masyarakat merasa lebih nyaman untuk tinggal di rumah kerabat atau rumah saudaranya atau bahkan di rumah orang yang memiliki satu bahasa. Demikianlah Rumah Tunggu yang digunakan adalah milik anggota masyarakat agar ibu hamil dapat merasa lebih betah,” lanjut Dr. Juliana.
Konsep Duan Lolat, dimana keluarga atau kerabat membiayai biaya pernikahan salah seorang anggota keluarga, juga dimanfaatkan untuk pengembangan biaya operasional Rumah Tunggu. ”Sekarang masyarakat diajak menggunakan Duan Lolat untuk membiayai keluarga mereka yang sedang dirawat di Rumah Tunggu”, tutur Dr. Juliana. Penerapan budaya setempat dalam mengelola program Rumah Tunggu ini turut meringakan beban pemerintah. ”Dana yang dilaokasikan Pemerintah Kabupaten kemudian lebih difokuskan pada biaya operasional Rumah Tunggu selama digunakan oleh ibu hamil. Masyarakat berkontribusi pada biaya pemeliharaannya”, jelas Dr. Juliana.
Untuk mengoptimalkan pengelolaan Rumah Tunggu dan agar praktik ini dapat lebih mudah direplikasi di daerah lain, sebuah Pedoman Rumah Tunggu dibuat pada tahun 2007. Pedoman Rumah Tunggu ini memuat informasi tentang persyaratan penetapan rumah tunggu, kriteria ibu hamil beresiko dan alokasi biaya operasional. Kriteria ibu hamil beresiko pun disusun agar sang ibu mendapatkan prioritas pertolongan perama di Rumah Tunggu dengan prosedur yang tepat. Pedoman Rumah Tunggu juga mengatur masa waktu untuk menggunakan Rumah Tunggu, yakni sekitar satu hingga dua minggu. Prioritas juga diberikan kepada ibu hamil yang berdomisili di daerah dengan akses transportasi terbatas.
Perubahan pasca hadirnya Rumah Tunggu
Rumah Tunggu pertama kali didirikan di Kecamatan Selaru. Saat itu daerah ini mengalami angka kematian ibu dan bayi yang cukup tinggi. Sebanyak 5 ibu dan 27 bayi meninggal dari tahun 2005 hingga 2007 saja. Sejak kehadiran Rumah Tunggu di Selaru, angkat kematian bayi menurun hingga setengahnya di tahun 2009.
Kehadiran Rumah Tunggu terbukti membantu dalam menolong ibu yang beresiko tinggi melakukan persalinan dengan selamat. Angka kematian ibu menurun demikian pula dengan kematian bayi yang baru dilahirkan. ”Melihat keberhasilan ini, pada November 2011, kami mendirikan satu Rumah Tunggu lagi di Seira dan pada awal 2012 kami mendirikan di Larat”, jelas Dr. Juliana yang juga telah mereplikasi Kemitraan Bidan dan Dukun, sebuah Praktik Cerdas dari Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Dalam Kemitraan Bidan dan Dukun, sebuah persalinan ditangani secara medis oleh Bidan dan dukungan psikis dan spiritual diberikan oleh seorang dukun.
Hingga pertengahan tahun 2012, tidak ada lagi ibu yang meninggal dalam proses persalinan di Selaru. Di Seira, terjadi satu kali kejadian ibu meninggal dimana pada tahun-tahun sebelumnya kematian ibu saat persalinan dalam setahun rata-rata 3 bahkan 4 jiwa. Rumah Tunggu di Larat yang baru beroperasi 8 bulan telah melayani persalinan dari 14 ibu hamil dengan resiko tinggi. Semua proses persalinan di Rumah Tunggu di Larat dapat ditangani dengan baik.
Terjadi penurunan angka kejadian ibu meninggal saat melahirkan di Kabupaten Maluku Tenggara Barat mulai dari tahun 2007 hingga 2011 dari 21 orang menjadi 10 orang. Demikian pula dengan kematian bayi yang pada tahun 2007 mencapai 74 kasus menurun menjadi 27 kasus di tahun 2012.
Salah satu perubahan yang baik pasca kehadiran Rumah Tunggu adalah meningkatnya kesadaran masyarakat untuk menggunakan fasilitas kesehatan. ”Konsep pendekatan budaya dan agama memang sangat mengena di masyarakat. Saat ini semakin banyak ibu hamil yang ingin melahirkan datang ke Rumah Tunggu atau Puskesmas, terutama ibu-ibu yang tidak memiliki biaya untuk persalinannya”, jelas Suzana.
Menyikapi meningkatnya jumlah ibu yang rutin memeriksakan kehamilan dan siring dengan perluasan layanan Rumah Tunggu ke tiga lokasi di Yamdena, kini Rumah Tunggu memiliki dua pusat rujukan. Untuk gugus Tanimbar Selatan pusat rujukan adalah RSUD PP Margreti, sedangkan gugus Tanimbar Utara di Puskesmas Larat.
Rumah Tunggu untuk Masa Depan
Keberhasilan Rumah Tunggu masih diselimuti tantangan. Besarnya biaya operasional yang mesti dikeluarkan selama ibu hamil menginap di Rumah Tunggu termasuk salah satu di antaranya. ”Butuh kerjasama yang apik antara pemerintah dan masyarakat sendiri”, tutur Suzana yang melihat perubahan yang terjadi dan merasakan dampak positif kehadiran Rumah Tunggu.
Bidan Suzana, Bidan Sarlina, Walowahani Adrian, dan Dr. Juliana bisa lebih berlega hati sekarang walau menyadari perjuangan mereka belum selesai. Sebagai tenaga kesehatan yang ditempatkan di daerah terpencil dan daerah yang kurang diminati, mereka tahu bahwa mereka tetap harus mempertaruhkan nyawa mereka setiap kali pergi bertugas.
“Ini adalah panggilan saya dan sudah menjadi konsekuensi jika harus mengabdi ke daerah terpencil”, ucap Dr. Juliana. ”Namun kebahagiaan yang ada di hati saya adalah bukan karena saya mendapatkan sesuatu, tapi karena telah memberi sesuatu, terutama bagi mereka yang sulit. Senyuman mereka sudah membahagiakan hati saya,” imbuh Dr. Juliana sambil tersenyum. Perjuangannya bersama petugas kesehatan dan ibu-ibu di Yamdena kini semakin bermakna. Semoga tidak ada lagi ibu hamil yang terlambat ditolong, karena telah secercah harapan yang menunggu mereka di Rumah Tunggu.