Anak-anak Muda Sulawesi Selatan Siap Menjadi Edukator Sebaya
Di era digital yang menghadirkan berbagai kemudahan sekaligus kerentanan, peran anak sebagai pelindung bagi diri dan sesama menjadi sangat penting. Menyadari kebutuhan tersebut, Yayasan BaKTI dengan dukungan UNICEF Indonesia bekerjasama Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan menyelenggarakan Pelatihan Edukator Sebaya untuk Pencegahan Online Child Sexual Exploitation and Abuse (OCSEA) dan Penguatan Kesehatan Mental. Kegiatan ini berlangsung pada 12–14 Juni 2025 di Hotel MaxOne Makassar.
Pelatihan ini diikuti oleh 30 peserta dari Forum Anak Kota Makassar, Kabupaten Maros, Gowa, Bone, dan Wajo dengan rentang usia 14-18 tahun. Mereka difasilitasi untuk memahami risiko kekerasan daring, menjaga kesehatan mental, serta merancang strategi kampanye edukasi bagi teman sebaya di komunitasnya masing-masing.
Beberapa fakta penting yang membarengi pelatihan ini dilakukan berdasarkan Laporan Disrupting Harm in Indonesia oleh ECPAT, INTERPOL, dan UNICEF (2022) adalah sebanyak 99,4 persen anak-anak di Sulawesi Selatan menggunakan internet lebih dari 5 jam per hari, sementara hanya 8 persen yang mendapatkan kontrol penggunaan gawai dari orang tua. Sebanya 2 persen anak usia 12–17 yang online mengalami OCSEA dalam setahun terakhir (kurang-lebih 500.000 anak). Juga 22 persen anak pernah menemukan konten seksual tanpa sengaja.
Pelatihan ini dibuka oleh Tria Amelia Tristiana, Spesialis Perlindungan Anak UNICEF. Ia menyoroti maraknya akses anak terhadap konten berisiko seperti situs pornografi, judi daring, hingga interaksi digital dengan orang asing. “Kalian adalah edukator sebaya yang dapat jadi pelindung bagi teman-teman kalian. Mulailah dari dialog kecil, kampanye kreatif, dan jadi ruang aman bagi sesama,” ajaknya.
Andi Mirna, S.H., Kepala Dinas DP3A Sulsel, menegaskan bahwa OCSEA dan tekanan mental pada anak merupakan dua sisi krisis perlindungan yang saling terkait. “Perlu pendekatan dari anak untuk anak. Ketika anak menyampaikan pesan perlindungan, penerimaannya lebih dalam dan empatik,” ujarnya.
Kegiatan ini dimoderatori oleh Junardi Jufri dan difasilitasi oleh Andi Nurlela. Sesi materi terbagi dalam dua kelompok besar: kesehatan mental melalui modul Helping Adolescents Thrive (HAT) dan perlindungan digital melalui modul OCSEA. Dua pelatih utama, Iyan Afriani, M.Psi., Psikolog, dan Rendy Saputra, S.A.P., Mitra Muda UNICEF, membawakan materi secara partisipatif, reflektif, dan kreatif.
Regulasi Emosi dan Ketahanan Mental Sesi pertama difokuskan pada pengenalan emosi dan strategi mengelolanya. Peserta diajak memahami spektrum emosi lewat "Emotion Wheel", menulis surat untuk diri sendiri, dan berbagi cerita lagu yang menggambarkan emosi. "Saya sadar bahwa amarah bukan satu-satunya emosi yang penting. Bahagia, kecewa, dan syukur juga bagian dari perasaan yang harus diakui," ujar Arsal perwakilan GenRe SulSel, salah satu peserta.
Iyan Afriani menekankan pentingnya literasi emosi, teknik manajemen stres, dan penguatan harga diri. Berbagai alat bantu seperti penggaris tekanan, butterfly hug, serta latihan self-talk positif membantu peserta memahami bagaimana mengenali dan menenangkan tubuh serta pikirannya.
Anak dan Risiko Digital Remaja sebagai digital native memahami teknologi, namun belum tentu sadar akan risikonya. Dalam sesi bersama Rendy Saputra, peserta belajar tentang bentuk-bentuk eksploitasi seksual daring, tanda-tanda risiko OCSEA, dan cara menjaga privasi digital. Mereka juga memetakan tantangan remaja baik di ranah daring maupun luring.
Permainan “Lapor atau Tidak” memicu diskusi kritis tentang sikap terhadap kasus eksploitasi. “Kami belajar untuk tidak menormalisasi kekerasan. Diam bukan pilihan,” ungkap Jeje, peserta dari Forum Anak Wajo.
Dari Pelatihan Menuju Aksi Di hari terakhir, peserta menyusun rencana tindak lanjut sebagai edukator sebaya. Kelompok dari masing-masing daerah merancang strategi kampanye yang mencakup diskusi kelas, podcast remaja, hingga penyuluhan di desa. Modul HAT dan OCSEA dijadikan panduan utama untuk kegiatan mereka di lapangan.
Kegiatan ini membuktikan bahwa anak-anak tidak hanya bisa dilindungi, tetapi juga dapat menjadi pelindung. "Hari ini mereka belajar tentang emosi dan perlindungan digital, besok mereka akan menjadi penggerak perubahan di komunitas masing-masing," ujar fasilitator Andi Nurlela.
Dengan pendekatan edukator sebaya, pelatihan ini menanamkan benih keberanian, kepedulian, dan aksi nyata dari anak untuk anak. Sebuah langkah kecil yang akan berdampak panjang bagi perlindungan dan kesehatan mental generasi muda di Sulawesi Selatan.
***
OIeh: Andi Nurlela