Edukasi Sebaya : Perlindungan Anak dan Literasi Digital untuk mencegah OCSEA di Sulawesi Selatan

Di tengah pesatnya perkembangan teknologi dan tantangan kesehatan mental remaja, UNICEF bersama Yayasan BaKTI bekerjasama dengan pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan mendorong anak dan remaja untuk menjadi agen perubahan melalui peer share atau edukasi sebaya sebagai rangkaian peringatan Hari Anak Nasional. Selama Juni hingga Juli 2025, sebanyak 25 fasilitator muda dari Forum Anak Provinsi Sulawesi Selatan, Forum Anak di lima kabupaten/kota (Makassar, Maros, Gowa, Bone, dan Wajo), GENRE (GENerasi beREncana), dan Mitra Muda UNICEF turun langsung ke komunitas mereka untuk menyampaikan materi Helping Adolescents Thrive (HAT) dan pencegahan Online Child Sexual Exploitation and Abuse (OCSEA).

Materi HAT berfokus pada penguatan kesehatan mental, ketahanan diri, dan hubungan positif antar sebaya, sedangkan pencegahan OCSEA menekankan perlindungan anak di ranah daring, literasi digital, dan cara melaporkan kekerasan seksual online. Kedua materi ini saling melengkapi untuk membekali anak dan remaja dengan keterampilan hidup yang aman, sehat, dan inklusif di era digital.

Kegiatan dilaksanakan secara adaptif mengikuti konteks wilayah masing-masing fasilitator: dari daerah pesisir, perdesaan, perkotaan, hingga lorong-lorong permukiman. Tempat berkumpul pun beragam, mulai dari masjid, sekolah, taman bermain, hingga ruang terbuka di lingkungan warga.

Foto: Andi Muhammad Syafrizal/Yayasan BaKTI

Foto: Andi Muhammad Syafrizal/Yayasan BaKTI

Selama periode pelaksanaan, tercatat lebih dari 1.000 anak dan remaja terjangkau melalui kegiatan tatap muka dan media sosial. Pesan yang disampaikan tidak hanya menambah pengetahuan praktis, tetapi juga membangun kesadaran kritis akan pentingnya saling menjaga, menguatkan solidaritas teman sebaya, dan menciptakan lingkungan yang aman.

“Edukasi dari teman sebaya itu lebih mudah diterima. Mereka bisa menyampaikan dengan bahasa yang santai, tapi pesannya mengena. Anak-anak jadi lebih terbuka untuk bertanya dan berbagi cerita,” ujar fasilitator dari Forum Anak Kabupaten Maros.

Bentuk kegiatan pun sangat bervariasi. Ada fasilitator yang mengumpulkan anak-anak di balai desa, ada yang memanfaatkan jam istirahat sekolah, bahkan ada yang melakukan door to door di daerah pesisir. Di Makassar, salah satu fasilitator memilih menyasar kelompok anak di rumah-rumah susun dengan memanfaatkan permainan kelompok sebagai media diskusi.

Salah satu cerita inspiratif datang dari Nadin, anak remaja perempuan dengan disabilitas yang menjadi fasilitator sebaya. Ia memilih melakukan edukasi di sebuah panti asuhan di Makassar. Dengan metode interaktif dan bahasa yang sederhana, Nadin mengajak anak-anak memahami tanda-tanda kekerasan daring, cara menjaga kesehatan mental, dan langkah mencari bantuan.

“Saya ingin teman-teman di panti tahu bahwa kita punya hak untuk aman, juga di internet, dan kita berhak merasa didukung saat sedang sedih atau takut,” ungkap Nadin.

Keberadaan Nadin menguatkan pesan bahwa inklusivitas adalah kunci keberhasilan edukasi sebaya. Kehadirannya memberikan representasi dan inspirasi bagi anak-anak dengan disabilitas untuk berani bersuara dan berpartisipasi aktif.


Foto: Andi Muhammad Syafrizal/Yayasan BaKTI

Di Kabupaten Bone, fasilitator mengadakan kegiatan di lapangan bola desa. Mereka membawa poster edukasi, melakukan permainan peran untuk menggambarkan situasi yang mungkin dihadapi remaja, serta mengadakan kuis ringan. “Kalau kita sampaikan sambil bermain, mereka jadi lebih ingat. Bahkan ada yang langsung cerita kalau pernah mengalami perundungan daring,” kata Nanda, fasilitator dari Forum Anak Kabupaten Bone.

Di Wajo, pendekatan kreatif dilakukan melalui lomba membuat poster bertema kesehatan mental dan literasi digital. Anak-anak yang mengikuti lomba mempresentasikan karyanya di depan teman-teman, memicu diskusi tentang pesan yang mereka sampaikan. Cara ini terbukti efektif mengasah keterampilan berpikir kritis sekaligus membangun rasa percaya diri.

Bagi Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, keberhasilan program ini tidak hanya dilihat dari jumlah anak yang terjangkau, tetapi juga dari dampak jangka panjang berupa terbentuknya jaringan edukator sebaya yang aktif di komunitas.

“Kami melihat anak-anak punya potensi besar sebagai agen perubahan. HAT memberi mereka keterampilan hidup dan rasa percaya diri, sementara materi pencegahan OCSEA melindungi mereka di dunia digital. Keduanya saling melengkapi,” jelas perwakilan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Sulawesi Selatan.


Foto: Andi Muhammad Syafrizal/Yayasan BaKTI

Dukungan UNICEF memastikan materi yang disampaikan berbasis data dan praktik baik global, namun tetap kontekstual sesuai budaya lokal. Misalnya, penggunaan istilah-istilah daerah untuk menggambarkan tindakan yang tidak pantas secara daring, sehingga anak lebih mudah memahami.

Para fasilitator juga belajar memanfaatkan media sosial secara aman untuk menyebarkan pesan. Mereka membuat video singkat, infografis, dan cerita foto yang diunggah di akun pribadi, memperluas jangkauan pesan hingga ke luar wilayah kegiatan tatap muka.

Bagi banyak fasilitator, pengalaman ini menjadi titik balik. Ada yang awalnya pemalu kini berani berbicara di depan publik, ada pula yang mulai merancang kegiatan edukasi mandiri di luar program.

“Dulu saya tidak pernah membayangkan bisa memimpin kegiatan sebesar ini. Sekarang saya merasa punya tanggung jawab untuk terus menyuarakan kesehatan mental dan perlindungan anak,” tutur Fahril Forum Anak Sulawesi Selatan.


Foto: Andi Muhammad Syafrizal/Yayasan BaKTI

Melalui pertemuan sederhana di masjid, sekolah, atau halaman rumah, pesan HAT dan pencegahan OCSEA kini telah menjangkau seribu anak di lima kabupaten/kota. Dari pesisir hingga perkotaan, dari lorong sempit hingga ruang terbuka, anak-anak Sulawesi Selatan membangun gerakan saling menjaga di era digital membuktikan bahwa perubahan bisa dimulai dari lingkaran kecil teman sebaya dan berkembang menjadi gelombang kebaikan yang meluas.

***

Oleh: Andi Nurlela