Penguatan Kapasitas Guru dan Layanan Komunitas untuk Dukung Kesehatan Mental Anak dan Remaja di Sulawesi Selatan
Di tengah meningkatnya tekanan psikologis yang dialami anak dan remaja, khususnya di era digital saat ini, guru dan penyedia layanan menjadi garda terdepan yang harus siap memberikan dukungan awal yang empatik dan tepat. Untuk itu, UNICEF Indonesia bersama Yayasan BaKTI dan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan menyelenggarakan pelatihan peningkatan kapasitas bertajuk Training of Trainer: Pelatihan Peningkatan Kapasitas Guru dan Pemberi Layanan dalam Mendukung Kesehatan Mental Anak dan Remaja di Sulawesi Selatan. pada tanggal 1–3 Juli 2025. Kegiatan ini dilaksanakan secara luring di Hotel Remcy, Makassar, dan menjadi bagian dari upaya kolektif mendorong terbentuknya lingkungan belajar yang lebih aman, inklusif, dan mendukung kesehatan mental anak dan remaja.
Sebanyak 42 peserta (27 Perempuan dan 16 Laki-laki) mengikuti pelatihan ini. Mereka terdiri dari guru, unsur UPT Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA), pengurus shelter warga, serta aktivis Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) dari lima kabupaten/kota yaitu Makassar, Maros, Gowa, Bone, dan Wajo. Peserta berasal dari beragam latar belakang yang selama ini berhadapan langsung dengan anak dan remaja dalam keseharian mereka, baik di sekolah maupun di komunitas.
Kegiatan dibuka oleh Tria Amelia, Spesialis Perlindungan Anak dari UNICEF Kota Makassar. Ia menyampaikan bahwa berdasarkan data Survei Nasional Kesehatan Mental tahun 2022, sekitar 34,9% remaja Indonesia mengalami gangguan psikologis seperti kecemasan dan stres pasca trauma. Sayangnya, sebagian besar dari mereka tidak pernah mendapatkan pertolongan pertama psikologis. Guru dan penyedia layanan diharapkan mampu menjadi pihak pertama yang hadir untuk mendengarkan dan memberi penguatan. “Kita tidak bisa hanya mengandalkan psikolog. Justru guru dan penyedia layanan harus memiliki keterampilan dasar untuk mendengarkan anak-anak,” ujarnya.
Sambutan berikutnya disampaikan oleh Dr. H. Ansar Syukur dari Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan. Ia mengangkat isu digitalisasi sebagai salah satu faktor pemicu gangguan kesehatan mental anak. Fenomena FOMO (fear of missing out), akses terhadap konten tidak ramah anak, serta meningkatnya kasus judi online di kalangan usia sekolah menunjukkan pentingnya edukasi yang terstruktur dan responsif terhadap kebutuhan zaman. Ia berharap pelatihan ini tidak hanya menjadi ruang belajar, tetapi juga menjadi pemicu aksi nyata di lapangan.
Materi pelatihan disampaikan selama tiga hari penuh, menggunakan modul Helping Adolescents Thrive (HAT) dari WHO dan UNICEF. Modul ini mencakup enam topik utama: teknik fasilitasi yang aman, regulasi emosi, manajemen stres, penguatan harga diri, keterampilan interpersonal, serta pemecahan masalah. Materi disampaikan oleh Muhammad Yusri dan Iyan Afriyani melalui pendekatan partisipatif dan berbasis pengalaman, termasuk studi kasus, diskusi kelompok, hingga praktik langsung.
Pada hari pertama, peserta diajak memahami prinsip dasar fasilitasi anak dan remaja. Mereka belajar membangun ruang aman, menjaga kerahasiaan, serta mengenali relasi kuasa yang seringkali menghambat ekspresi anak. Hari kedua diisi dengan eksplorasi emosi dan manajemen stres. Melalui aktivitas seperti “Tahunku”, “Pilih Lagumu”, dan “Penggaris Tekanan”, peserta diajak menggali pengalaman emosional dan menemukan strategi coping yang sehat. Hari ketiga difokuskan pada penguatan harga diri dan hubungan interpersonal, termasuk latihan mengenali kekuatan diri dan membangun komunikasi yang empatik.
Andi Nurlela, selaku konsultan program, turut merancang alur pelatihan dan pendekatan metodologis yang kontekstual dengan kebutuhan lokal. Ia menyampaikan bahwa kegiatan ini menjadi ruang bersama untuk membongkar pola interaksi lama yang tidak ramah anak dan membangun kembali pendekatan yang empatik dan partisipatif. “Kesehatan mental bukan soal seberapa banyak kita berbicara kepada anak, tetapi seberapa dalam kita mendengarkan mereka,” ungkapnya dalam sesi refleksi.
Menjelang akhir kegiatan, peserta menyusun rencana tindak lanjut yang akan direalisasikan di daerah masing-masing. Beberapa di antaranya termasuk replikasi pelatihan bagi rekan guru dan relawan komunitas, penyusunan materi edukasi sebaya, serta kampanye digital yang menyasar sekolah dan komunitas melalui media sosial dan mading sekolah. Komitmen ini menjadi cerminan bahwa peserta tidak hanya hadir untuk belajar, tetapi juga untuk bergerak bersama mendorong perubahan.
Pelatihan ini bukan sekadar ruang peningkatan kapasitas, tetapi juga langkah strategis memperkuat sistem perlindungan anak berbasis komunitas. UNICEF dan BaKTI berharap, melalui kegiatan ini akan tumbuh lebih banyak agen lokal yang tangguh dan peka terhadap dinamika psikososial anak, serta menjadikan Sulawesi Selatan sebagai contoh praktik baik dalam mendorong sistem perlindungan yang lebih adaptif, kolaboratif, dan berkelanjutan di tengah tantangan era digital.
Oleh: Andi Nurlela