• admin
  • 17 October 2025

UNICEF dan Yayasan BaKTI Perkuat Kapasitas Pekerja Sosial dan Penyedia Layanan dalam Mencegah Eksploitasi Seksual Anak Daring di Sulawesi Selatan

Kemajuan teknologi digital membawa banyak manfaat bagi anak-anak dalam belajar dan berinteraksi, namun juga menghadirkan ancaman serius berupa eksploitasi dan kekerasan seksual terhadap anak di dunia maya atau yang dikenal dengan Online Child Sexual Exploitation and Abuse (OCSEA). Untuk memperkuat upaya pencegahan dan penanganan kasus ini, UNICEF Indonesia bersama Yayasan BaKTI, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), dan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan menggelar pelatihan peningkatan kapasitas bagi pekerja sosial dan penyedia layanan perlindungan anak, yang berlangsung pada 14 Oktober 2025 di Hotel Horison Makassar.

Pelatihan ini diikuti oleh 25 peserta yang terdiri dari perwakilan UPT Perlindungan Perempuan dan Anak (UPT PPA), Dinas Sosial, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Perwakilan Akademisi Universitas Hasanuddin serta lembaga layanan masyarakat dari Provinsi Sulawesi Selatan dan lima kabupaten/kota yaitu Makassar, Gowa, Maros, Bone, dan Wajo. Para peserta merupakan garda terdepan dalam memberikan layanan perlindungan anak di daerah masing-masing, sehingga pelatihan ini menjadi sarana penting untuk memperkuat kemampuan mereka dalam mencegah serta menangani kasus eksploitasi seksual anak di ranah digital.


Dalam kegiatan ini, Andi Nurlela, Konsultan Perlindungan Anak Program UNICEF–BaKTI, memaparkan materi bertema “Melindungi Anak dari Kejahatan Seksual di Ranah Daring”. Ia menjelaskan bahwa anak-anak kini hidup di dunia digital yang memberi ruang luas untuk belajar dan berekspresi, namun tanpa pengawasan yang baik, ruang tersebut dapat berubah menjadi tempat yang berbahaya. “Internet bukan ruang yang netral bagi anak. Ketika anak tidak dibekali pemahaman tentang risiko digital, mereka bisa menjadi korban tanpa menyadarinya,” ujarnya.

Andi Nurlela menguraikan berbagai bentuk OCSEA yang marak terjadi, mulai dari bujuk rayu daring (online grooming), permintaan dan penyebaran konten seksual anak, pemerasan seksual (sextortion), hingga eksploitasi melalui siaran langsung (live streaming). Pelaku seringkali memanfaatkan kepercayaan anak dengan berpura-pura menjadi teman atau sosok yang peduli sebelum memanipulasi korban untuk membagikan konten pribadi. “Pelaku bisa siapa saja, termasuk orang dekat anak, karena yang dicari bukan sekadar materi, tetapi kendali atas korban,” tegasnya.

Materi juga menyoroti dampak berat yang dialami korban, baik secara fisik maupun psikologis, mulai dari trauma mendalam, kehilangan rasa aman, hingga depresi dan penarikan diri dari lingkungan sosial. Ia mengingatkan pentingnya menciptakan lingkungan aman agar anak berani bercerita ketika mengalami ketidaknyamanan.


 

Sesi diskusi kemudian menjadi ruang terbuka bagi peserta untuk berbagi pengalaman nyata di lapangan. Seorang peserta dari UPT PPA Kabupaten Wajo menceritakan bahwa salah satu anak penerima manfaat yang ia dampingi ternyata juga menjadi korban eksploitasi daring. “Anak ini awalnya terlihat ceria, tapi setelah kami dalami, ternyata ia pernah dijebak oleh pelaku lewat media sosial. Butuh waktu lama untuk membuatnya mau bicara,” ungkapnya dengan suara bergetar.

Seorang peserta lain bercerita tentang tantangan di rumah tangga sendiri. Ia sebagai bapak mengaku resah melihat anaknya sulit lepas dari gawai dan sering menutup diri saat diingatkan. “Kami orang tua juga bingung. Kadang merasa bersalah kalau terlalu melarang, tapi juga khawatir kalau dibiarkan terus. Pelatihan ini membuat saya sadar, yang dibutuhkan bukan larangan, tapi pendampingan,” tuturnya.


Suasana pelatihan sempat haru ketika seorang pendamping dari UPT PPA Provinsi Sulawesi Selatan berbagi kisah tentang tekanan emosional yang ia alami selama mendampingi kasus. Dengan mata berkaca-kaca, ia mengaku sering merasa lelah dan takut karena kerap menerima ancaman dari pelaku. “Kadang saya harus menenangkan anak korban sambil menahan tangis sendiri. Ada rasa takut, tapi juga rasa tanggung jawab. Kami butuh dukungan agar bisa terus kuat,” ucapnya disambut tepuk tangan peserta lain.

Melalui kisah-kisah tersebut, pelatihan ini tidak hanya menjadi ruang belajar teknis, tetapi juga wadah refleksi tentang pentingnya dukungan moral dan psikososial bagi para pekerja sosial dan penyedia layanan yang menjadi garda depan perlindungan anak.

Selain membahas pencegahan dan pendampingan, peserta juga belajar mekanisme pelaporan kasus OCSEA yang dapat dilakukan melalui UPT PPA, Dinas Sosial, kepolisian, atau kanal pelaporan online resmi. Ditekankan pula pentingnya menjaga bukti digital dan mengutamakan keselamatan anak dalam setiap langkah penanganan kasus.


Salah satu bagian menarik dalam pelatihan ini adalah role play atau simulasi kasus bentuk-bentuk OCSEA yang menggambarkan situasi nyata. Salah satu dalam simulasi tersebut, peserta memerankan percakapan antara seorang anak dan pemain lain di game online. Percakapan yang awalnya tampak seperti pertemanan biasa perlahan berubah menjadi ajakan berbagi foto pribadi dan berujung pemerasan seksual. Melalui simulasi ini, peserta diajak memahami bagaimana pelaku membangun kepercayaan dan mengendalikan korban secara psikologis. “Dari latihan ini kami sadar, kejahatan OCSEA bisa terjadi di ruang-ruang yang selama ini dianggap aman bagi anak,” ujar salah satu peserta dari Dinas Sosial Kabupaten Maros.

Peserta kemudian menyusun langkah tindak lanjut, di antaranya kampanye edukasi literasi digital di sekolah, Lapas Anak, kolaborasi dengan orang tua melalui kelompok belajar komunitas, serta peningkatan koordinasi antarinstansi untuk mempercepat penanganan kasus OCSEA di daerah.

Melalui kegiatan ini, UNICEF, Yayasan BaKTI, KemenPPPA, dan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan berharap agar sistem perlindungan anak di era digital semakin kuat, tidak hanya melalui kebijakan, tetapi juga lewat aksi nyata di lapangan.

 

Oleh: Andi Nurlela