• admin
  • 17 October 2025

UNICEF dan Yayasan BaKTI Perkuat Koordinasi Lintas Sektor dalam Perlindungan Anak dalam Situasi Darurat di Sulawesi Selatan

Anak-anak merupakan kelompok yang paling rentan saat bencana terjadi. Mereka berisiko kehilangan pengasuh, terpisah dari keluarga, serta menghadapi ancaman kekerasan dan eksploitasi. Untuk memperkuat kesiapsiagaan daerah menghadapi situasi darurat yang berdampak pada anak, UNICEF Indonesia bekerja sama dengan Yayasan BaKTI, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), serta Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, menyelenggarakan Pelatihan Perlindungan Anak dalam Situasi Darurat (Child Protection in Emergency/CPIE) pada 13 Oktober 2025 di Hotel Horison Makassar.

Pelatihan yang berlangsung selama satu hari penuh ini diikuti oleh 43 peserta dari unsur Dinas Sosial, BPBD, dan UPT Perlindungan Perempuan dan Anak (UPT PPA), baik di tingkat provinsi maupun lima kabupaten/kota, yaitu Makassar, Maros, Gowa, Bone, dan Wajo. Kegiatan ini bertujuan memperkuat koordinasi lintas sektor dalam perlindungan anak di masa bencana sekaligus menghasilkan rencana kontinjensi klaster perlindungan anak di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.


Pelatihan dibuka oleh Ibu Andi Murni, SH., MM., Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Provinsi Sulawesi Selatan). Dalam sambutannya, ia menegaskan pentingnya sinergi lintas lembaga dalam memastikan keselamatan anak. “Kita ingin memastikan bahwa ketika bencana terjadi, tidak ada kebingungan. Setiap pihak sudah memahami perannya masing-masing dalam melindungi anak-anak,” ujarnya.

Ibu Tria Amelia Tristiana, Child Protection Specialist UNICEF Wilayah Indonesia Timur, dalam pengantarnya menyampaikan bahwa sistem perlindungan anak harus menjadi bagian integral dari kebijakan penanggulangan bencana daerah. “Bencana bukan hanya persoalan fisik, tetapi juga persoalan perlindungan. Anak-anak kehilangan rasa aman, bahkan kepercayaan diri. Karena itu, koordinasi lintas sektor sangat penting agar hak-hak anak tetap terlindungi di situasi apa pun,” ungkapnya.


Dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Ibu Susanti turut hadir memberikan sambutan secara daring melalui Zoom. Dalam arahannya, beliau menekankan pentingnya kesiapsiagaan daerah dalam melindungi anak-anak dari berbagai risiko bencana. “Rencana kontinjensi klaster perlindungan anak ini menjadi bukti komitmen daerah. Dengan panduan ini, koordinasi antarinstansi bisa lebih efektif dan terarah,” ujarnya.

Sesi utama pelatihan dibawakan oleh Azep Zulhijar, Child Protection Specialist UNICEF Indonesia, yang memaparkan mengapa anak harus dilindungi dalam situasi darurat, siapa yang dimaksud dengan anak, dan apa saja risiko yang dapat mereka alami ketika bencana terjadi. Dalam paparannya, Azep menjelaskan bahwa berdasarkan Konvensi Hak Anak dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, anak adalah setiap individu berusia di bawah 18 tahun yang berhak atas perlindungan dari kekerasan, eksploitasi, dan penelantaran, termasuk dalam kondisi darurat.


“Anak-anak perlu dilindungi karena mereka sangat bergantung pada orang dewasa dan memiliki kemampuan terbatas untuk melindungi diri. Dalam bencana, risiko yang mereka hadapi sangat besar mulai dari kehilangan keluarga, kekerasan, eksploitasi, perdagangan orang, hingga gangguan psikologis. Perlindungan anak dalam situasi darurat bukan pilihan, melainkan kewajiban kemanusiaan,” tegas Azep.

Setelah pemaparan tersebut, peserta mengikuti rangkaian sesi tematik yang menggambarkan bagaimana koordinasi perlindungan anak dilakukan di setiap fase kebencanaan. Zulkarnain membuka sesi dengan materi tentang Koordinasi Perlindungan Anak pada Tahap Pra-Bencana, yang berfokus pada penguatan kesiapsiagaan di tingkat daerah. Ia menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor dalam menyusun mekanisme kerja dan sistem peringatan dini agar risiko terhadap anak dapat diminimalkan sebelum bencana terjadi.


Berikutnya, Desy Vijayanti, S.Tr.Sos melanjutkan dengan sesi Koordinasi Perlindungan Anak pada Tahap Tanggap Darurat, di mana peserta diajak memahami peran klaster perlindungan anak dalam sistem komando penanggulangan bencana. Desy menekankan pentingnya kecepatan dan koordinasi antarinstansi dalam mendirikan pos perlindungan anak, melakukan pendataan anak terpisah, serta memastikan adanya ruang aman di lokasi pengungsian. “Tahap tanggap darurat adalah momen paling kritis. Semua pihak harus bergerak cepat, tapi tetap mengutamakan keselamatan dan kenyamanan anak,” ujarnya.

Sesi terakhir disampaikan oleh Dyah Ramadhani, S.Psi., yang membahas Koordinasi Perlindungan Anak pada Tahap Rehabilitasi dan Rekonstruksi (Pasca-Bencana). Ia menyoroti pentingnya memastikan proses pemulihan tidak hanya fokus pada infrastruktur, tetapi juga pada pemulihan sosial dan psikologis anak. Dyah menekankan pentingnya reintegrasi anak dengan keluarganya, pemulihan rasa aman, dan keberlanjutan pendidikan. “Pemulihan pasca bencana harus berpusat pada anak. Kita tidak hanya membangun kembali bangunan, tetapi juga membangun kembali masa depan mereka,” jelasnya.

Sebagai penutup, kegiatan diakhiri dengan simulasi koordinasi lapangan yang melibatkan seluruh peserta. Simulasi ini menggambarkan skenario tanggap darurat di mana peserta memainkan peran sesuai instansi masing-masing — BPBD sebagai koordinator lapangan, Dinas Sosial mengelola pengungsian, dan UPT PPA memastikan layanan perlindungan anak berjalan dengan cepat dan tepat. Simulasi ini memperlihatkan bagaimana koordinasi lintas sektor dapat mempercepat respons dan meningkatkan efektivitas perlindungan anak di lapangan.


Hasil akhir dari pelatihan ini adalah rancangan awal rencana kontinjensi klaster perlindungan anak di lima kabupaten/kota serta satu dokumen koordinasi di tingkat provinsi. Rencana ini menjadi dasar dalam memperjelas alur koordinasi, pembagian peran, dan mekanisme komunikasi antar instansi ketika bencana terjadi.

Menutup kegiatan, Tria Amelia Tristiana menyampaikan harapannya agar hasil pelatihan ini tidak berhenti di atas kertas. “Yang terpenting adalah memastikan rencana kontinjensi ini benar-benar diimplementasikan di lapangan. Dengan koordinasi lintas sektor yang kuat, kita dapat menjamin setiap anak tetap terlindungi bahkan dalam situasi paling darurat sekalipun,” ujarnya.

 

Oleh: Andi Nurlela